ASMA
A. Konsep Dasar Medik
- Definisi
Asma adalah penyakit
jalan napas obstruktif intermiten, reversible dimana trakea dan bronkus
berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu, dan
dimanifestasikan dengan penyempitan jalan napas, yang mengakibatkan dispnea,
batuk dan mengi. (Brunner & Suddarth, Edisi 8, Vol. 1, 2001. Hal. 611).
Asma adalah suatu
penyakit peradangan kronik pada jalan napas yang mana peradangan ini
menyebabkan perubahan derajat obstruksi pada jalan napas dan menyebabkan
kekambuhan. (Lewis, 2000, hal. 660).
Asma adalah suatu
penyakit jalan napas yang ditandai oleh periode bronkospasme, merupakan
penyakit kompleks yang meliputi biokimia, imunologi, endokrin, infeksi,
autoimun dan faktor psikologi. (Luckman and Sorensen’s, 1993, Hal. 1021).
Dari ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
asma bronchiale adalah gangguan jalan nafas yang disebabkan oleh peningkatan
respon trachea dan bronkus secara mendadak dan hiperaktif yang ditandai dengan
gejala dispnea, batuk dan mengi
- Anatomi
Fisiologi
a.
Anatomi Pernafasan
Anatomi Pernafasan
Anatomi
Paru-Paru (http;//blog.ilmukeperawatan.com/anatomi-sistem-pernafasan.html
diperoleh pada tanggal 5 juli 2012)
Sistem pernafasan terdiri
dari suatu rangkaian saluran udara yang mengantarkan udara luas agar bersentuhan
dengan membran - membran kapiler alveoli paru. Saluran
penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, pharing, laring,
bronkus dan bronkioulus yang dilapisi oleh membran mukosa bersilia.
a.
Hidung
Ketika udara masuk ke rongga hidung udara tersebut
disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Partikel-partikel yang kasar disaring
oleh rambut-rambut yang terdapat di dalam hidung, sedangkan partikel halus akan
dijerat dalam lapisan mukosa, gerakan silia mendorong lapisan mukus ke
posterior di dalam rongga hidung dan ke superior di dalam saluran pernafasan
bagian bawah.
b.
Pharing
Merupakan tempat persimpangan antara jalan
pernafasan dan jalan makanan. Terdapat di bawah dasar tengkorak, di belakang
rongga hidung dan mulut setelah depan ruas tulang leher.
Hubungan pharing dengan rongga-rongga lain: ke atas berhubungan dengan
rongga hidung dengan perantaraan lubang yang bernama koana. Ke depan
berhubungan dengan rongga mulut. Tempat hubungan ini bernama istmus fausium
lubang esophagus.
Di bawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga di beberapa tempat
terdapat folikel getah bening. Perkumpulan getah bening dinamakan adenoid. Di
sebelahnya terdapat dua buah tonsil kiri dan kanan dari tekak. Di sebelah
belakang terdapat epiglotis (empang tengkorak) yang berfungsi menutup laring
pada waktu menelan makanan.
Rongga tekak dibagi menjadi 3 bagian:
·
Bagian sebelah atas yang sama tingginya dengan
koana disebut nasofaring.
·
Bagian tengah yang sama tingginya dengan istmus
fausium disebut orofaring.
·
Bagian bawah sekali dinamakan laringofaring.
c.
Laring
Laring terdiri dari satu seri cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh
otot-otot pita suara. Laring dianggap berhubungan dengan fibrasi tetapi
fungsinya sebagai organ pelindung jauh lebih penting. Pada waktu menelan laring
akan bergerak ke atas glotis menutup.
Alat ini berperan untuk membimbing makanan dan cairan masuk ke dalam
esophagus sehingga kalau ada benda asing masuk
sampai di luar glotis maka laring mempunyai fungsi batuk yang membantu
benda dan sekret dari saluran inspirasi bagian bawah.
d.
Trakea
Trakea disokong oleh cincin tulang yang fungsinya
untuk mempertahankan agar trakea tatap terbuka. Trakea dilapisi oleh lendir
yang terdiri atas epitelium bersilia, jurusan silia ini bergerak jalan ke atas
ke arah laring, maka dengan gerakan ini debu dan butir halus yang turut masuk
bersama dengan pernafasan dapat dikeluarkan.
e.
Bronkus
Dari trakea udara masuk ke dalam bronkus. Bronkus
memiliki percabangan yaitu bronkus utama kiri dan kanan yang dikenal sebagai
karina. Karina memiliki syaraf yang menyebabkan bronkospasme dan batuk yang
kuat jika dirangsang. Bronkus utama kiri dan kanan tidak simetris, bronkus
kanan lebih pendek dan lebih besar yang arahnya hampir vertikal, sebalinya
bronkus ini lebih panjang dan lebih sempit. Cabang utama bronkus bercabang lagi
menjadi bronkus lobaris dan kemudian segmentalis. Percabangan ini berjalan
terus dan menjadi bronkiolus terminalis yaitu saluran udara terkecil yang tidak
mengandung alveoli.
f.
Bronkiolus
Saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkiolus
terminalis merupakan saluran penghantar udara ke tempat pertukaran gas
paru-paru setelah bronkiolus terdapat asinus yang merupakan unit fungsional
paru yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari bronkiolus respiratorik,
duktus alveolaris, sakus alveolaris terminalis, alveolus dipisahkan dari
alveolus di dekatnya oleh dinding septus atau septum.
Alveolus dilapisi oleh zat lipoprotein yang dinamakan surfaktan yang
dapat mengurangi tegangan pertukaran dalam mengurangi resistensi pengembangan
pada waktu inspirasi dan mencegah kolaps alveolus pada ekspirasi.
Peredaran Darah Paru-Paru
Paru-paru mendapat dua sumber suplai darah yaitu
dari arteri bronkialis (berasal dari aorta thorakhalis dan berjalan sepanjang
dinding posterior bronkus) dan arteri pulmonalis. Sirkulasi bronchial
menyediakan darah teroksigenasi dari sirkulasi sitemik dan berfungsi memenuhi
kebutuhan metabolisme paru.
Vena bronkialis besar bermuara pada vena cava superior
dan mengembalikan darah ke atrium kanan. Vena bronkialis yang lebih kecil akan
mengalirkan darah ke vena pulmonalis. Arteri pulmonalis yang berasal dari
ventrikel kanan jantung mengalirkan darah vena campuran ke paru-paru. Di
paru-paru terjadi pertukaran gas antara alveoli dan darah, darah yang
teroksigenasi dikembalikan ke ventrikel kiri jantung melalui vena pulmonalis,
yang selanjutnya membagikannya melalui sirkulasi sistemik ke seluruh tubuh.
Proses Pernafasan dipengaruhi oleh:
Ventilasi : pergerakan mekanik udara dari dan ke
paru-paru
Perfusi : distribusi oksigen
oleh darah ke seluruh pembuluh darah di paru-paru.
Difusi : pertukaran oksigen
dan karbondioksida antara alveoli dan kapiler paru.
Transportasi : pengangkutan O2-CO2
yang berperan pada sistem cardiovaskuler.
- Etiologi
·
Faktor Ekstrinsik
Ditemukan pada sejumlah kecil pasien dewasa dan disebabkan oleh alergen
yang diketahui karena kepekaan individu, biasanya protein, dalam bentuk serbuk
sari yang hidup, bulu halus binatang, kain pembalut atau yang lebih jarang
terhadap makanan seperti susu atau coklat, polusi.
·
Faktor Intrinsik
Faktor ini sering tidak ditemukan faktor-faktor
pencetus yang jelas. Faktor-faktor non spefisik seperti flu biasa, latihan
fisik atau emosi dapat memicu serangan asma. Asma instrinsik ini lebih biasanya
karena faktor keturunan dan juga sering timbul sesudah usia 40 tahun. Dengan
serangan yang timbul sesudah infeksi sinus hidung atau pada percabangan
trakeobronchial.
- KLASIFIKASI
a.
Klasifikasi asma berdasarkan keadaan patologis
1)
Asma Bronchiale Tipe Atropik (Ekstrinsik)
Yaitu asma yang disebabkan oleh alergen, misalnya: serbuk sari binatang,
makanan dan jamur. Biasanya mempunyai riwayat keluarga yang alergen dan riwayat
medis masa lalu, iskemia dan rhinita alergik.
2)
Asma Bronchiale Tipe non-Atropik (Intrinsik)
Yaitu tidak berhubungan dengan alergen
spesifik, faktor-faktor seperti common vold, infeksi traktus respiratorius,
latihan, emosi dan lingkungan pencetus serangan. Serangan menjadi lebih berat
dan dapat berkembang menjadi bronkitis kronis dan empisema.
3)
Asma Gabungan
Yaitu bentuk asthma yang paling umum, mempunyai karakteristik dari bentuk
alergik maupun bentuk idiopatik atau non alergik.
b.
Klasifikasi penyakit asma berdasarkan frekuensi kemunculan gejala
1)
Intermitten, yaitu sering tanpa gejala
atau munculnya kurang dari 1 kali dalam seminggu dan gejala asma malam kurang
dari 2 kali dalam sebulan. Jika seperti itu yang terjadi, berarti faal (fungsi)
paru masih baik.
2)
Persisten
ringan,
yaitu
gejala asma lebih dari 1 kali dalam seminggu dan serangannya sampai mengganggu
aktivitas, termasuk tidur. Gejala asma malam lebih dari 2 kali dalam sebulan.
Semua ini membuat faal paru realatif menurun.
3)
Persisten
sedang, yaitu asma terjadi setiap
hari dan serangan sudah mengganggu aktivitas, serta terjadinya 1-2 kali
seminggu. Gejala asma malam lebih dari 1-2 kali seminggu. Gejala asma malam
lebih dari 1 kali dalam seminggu. Faal paru menurun.
4)
Persisten
berat,
gejala asma terjadi terus-menerus dan serangan sering terjadi. Gejala asma
malam terjadi hampir setiap malam. Akibatnya faal paru sangat menurun
- Manifestasi
Klinis
Gejala asma yang klasik terdiri atas batuk, sesak dan
mengie (wheezing) dan sebagian penderita disertai nyeri dada). Gejala-gejala
tersebut tidak selalu terdapat bersama-sama, sehingga ada beberapa tingkat
penderita asma sebagai berikut:
·
Tingkat I penderita asma secara klinis normal.
Gejala asma timbul bila ada faktor pencetus.
·
Tingkat II penderita asma tanpa keluhan dan
tanpa kelainan pada pemeriksaan fisik tetapi fungsi paru menunjukan tanda-tanda
obstruksi jalan nafas.
·
Tingkat III penderita asma tanpa golongan tetapi
pada pemeriksaan fisik maupun fungsi paru menunjukan obstruksi jalan nafas.
Misal: Tingkat II dijumpai
setelah sembuh dari serangan asma.
Tingkat III penderita sembuh tetapi tidak
menemukan pengobatannya.
·
Tingkat IV penderita asma yang paling sering
dijumpai mengeluh sesak nafas, batuk dan nafas berbunyi.
Pada pemeriksaan fisik
maupun spirometri akan ditemukan obstruksi jalan nafas. Pada serangan asma yang
berat gejala yang timbul antara lain:
a.
Kompresi otot-otot bantu pernafasan terutama otot
sterna.
b.
Cyanosis
c.
Silent chest
d.
Gangguan kesadaran
e.
Penderita tampak letih, hiperinflasi dada
f.
Thacycardi
·
Tingkat V status asmatikus yaitu serangan asma
akut yang berat bersifat refrater sementara terhadap pengobatan yang langsung
dipakai.
- Patofisiologi
Asma adalah obstruksi jalan nafas difus revesible yang
disebabkan oleh satu atau lebih dari faktor berikut ini.
1.
Kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkus yang menyempitkan jalan nafas.
2.
Pembengkakan membran yang melapisi bronkus.
3.
Pengisian bronkus dengan mukus yang kental.
Selain itu, otot-otot bronchial dan kelenjar membesar.
Sputum yang kental, banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflamasi dengan
udara terperangkap di dalam paru.
Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang
sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan
antigen dengan antibodi menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (mediator)
seperti: histamin, bradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari
suptamin yang bereaksi lambat.
Pelepasan mediator ini mempengaruhi otot polos dan
kelenjar jalan nafas menyebabkan broncho spasme, pembengkakan membran mukosa
dan pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem syaraf otonom mempengaruhi paru, tonus otot
bronchial diatur oleh impuls syaraf pagal melalui sistem para simpatis. Pada
asthma idiopatik/non alergi, ketika ujung syaraf pada jalan nafas dirangsang
oleh faktor seperti: infeksi, latihan, udara dingin, merokok, emosi dan
polutan. Jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat.
Pelepasan astilkolin ini secara langsung menyebabkan
bronchikonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi.
Pada serangan asma berat yang sudah disertai toxemia,
tubuh akan mengadakan hiperventilasi untuk mencukupi kebutuhan O2.
Hiperventilasi ini akan menyebabkan pengeluaran CO2 berlebihan dan
selanjutnya mengakibatkan tekanan CO2 darah arteri (pa CO2)
menurun sehingga terjadi alkalosis respiratorik (pH darah meningkat). Bila
serangan asma lebih berat lagi, banyak alveolus tertutup oleh mukus sehingga
tidak ikut sama sekali dalam pertukaran gas. Sekarang ventilasi tidak mencukupi
lagi, hipoksemia bertambah berat, kerja otot-otot pernafasan bertambah berat
dan produksi CO2 yang meningkat disertai ventilasi alveolar yang
menurun menyebabkan retensi CO2 dalam darah (Hypercapnia) dan
terjadi asidosis respiratori (pH menurun). Stadium ini kita kenal dengan gagal
nafas.
Hipotermi yang berlangsung lama akan menyebabkan
asidosis metabolik dan konstruksi jaringan pembuluh darah paru dan selanjutnya
menyebabkan sunting peredaran darah ke pembuluh darah yang lebih besar tanpa
melalui unit-unit pertukaran gas yang baik. Sunting ini juga mengakibatkan
hipercapni sehingga akan memperburuk keadaan.
7. Pathway
- Pemeriksaan
Diagnostik
1.
Tes kulit (tuberculin dan alergen)
Tes
kulit (+) reaksi lebih hebat, mengidentifikasi alergi yang spesifik.
2.
Rontgen: foto thorax menunjukan hiperinflasi dan
pernafasan diafragma.
3.
Pemeriksaan sputum: Dapat jernih atau berbusa (alergi)
Dapat kental dan putih (non alergi)
Dapat berserat (non alergi)
4.
Pemeriksaan darah: *
Eusinofilia (kenaikan badan eusinofil)
*
Peningkatan kadar IgE pada asma alergi
*
AGD Ã hipoxi (serangan akut)
9. Epidemiologi
Menurut
Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) tahun 2001, penyakit saluran napas
merupakan penyakit penyebab kematian terbanyak kedua di Indonesia setelah
penyakit gangguan pembuluh darah. Di
Amerika, 14 sampai 15 juta orang mengidap asma, dan kurang lebih 4,5 juta di
antaranya adalah anak-anak. Penyakit
ini merupakan salah satu penyakit utama yang menyebabkan pasien membutuhkan
perawatan, baik di rumah sakit maupun di rumah. Sebagian dari semua kasus asma
berkembang sejak masa kanak-kanak, sedangkan sepertiganya pada masa dewasa
sebelum umur 40 tahun. Namun
demikian, asma dapat dimulai pada segala usia, mempengaruhi pria dan wanita
tanpa kecuali, dan bisa terjadi pada setiap orang pada segala etnis (Ikawati,
2006).
- Penatalaksanaan
Medik
Ada lima kategori
pengobatan yaitu:
1.
Abenis (Beta)
Medikasi awal untuk
mendilatasi otot-otot polos bronchial, meningkatkan gerakan siliarism,
menurunkan mediator kimiawi anafilaktik dan menguatkan efek bronkodilatasi dari
kortikosteroid.
Contoh: Epinenin, Abuterol, Meraproterenol
2.
Methil Santik
Mempunyai efek bronkodilator, merileksasikan
otot-otot polos bronkus, meningkatkan gerakan mukus, dan meningkatkan kontraksi
diafragma.
Contoh: Aminofilin, Theofilin
3.
Anti Cholinergik
Diberikan melalui inhalasi bermanfaat terhadap
asmatik yang bukan kandidat untuk antibodi b dan methil santin karena
penyakit jantung.
Contoh: Atrofin
4.
Kortikosteroid
Diberikan secara IV, oral dan inhalasi. Mekanisme
kerjanya untuk mengurangi inflamasi dan bronkokonstriktor.
Contoh: hidrokortison, prednison dan deksametason
5.
Inhibitor Sel Mast
Contoh: natrium bromosin adalah bagian integral
dari pengobatan asma yang berfungsi mencegah pelepasan mediator kimiawi
anafilaktik.
- Komplikasi
1.
Pneumothorax: masuknya udara ke dalam rongga pleura
2.
Emfisema
subcutis
3.
Atelektasis:
gangguan ekspansi paru
4.
Asper gilosis bronkopulmoner
5.
Alergi: Suatu reaksi hiperaktif tubuh terhadap suatu
rangsangan
6.
Gagal nafas
7. Bronchitis:
infeksi pada bronkus
- Prognosis
Kematian akibat asma
sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir menunjukkan kurang dari 5000
kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang berjumlah kira-kira 10 juta
orang. Namun, angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan
fasilitas kesehatan terbatas.
Informasi mengenai
perjalanan klinis asma mengatakan bahwa prognosis baik ditemukan pada 50 sampai
80 persen pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan timbul pada masa
kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita asma 7 sampai 10 tahun setelah
diagnosis pertama bervariasi dari 26 sampai 78 persen, dengan nilai rata-rata
46 persen; akan tetapi persentase anak yang menderita penyakit yang berat
relative rendah (6 sampai 19 persen).
Tidak seperti penyakit
saluran napas yang lain seperti bronchitis kronik, asma tidak progresif. Bahkan
bila tidak diobati, pasien asma tidak terus menerus berubah dari penyakit yang
ringan menjadi penyakit yang berat seiring berjalannya waktu.
- Pencegahan
a.
Menjaga
Kesehatan
Menjaga kesehatan
tubuh merupakan usaha yang tidak terpisahkan dari pengobatan
penyakit asma. Bila penderita lemah dan kurang gizi, tidak saja mudah terserang
penyakit tetapi juga berarti mudah untuk mendapat serangan penyakit asma
beserta komplikasinya. Usaha mencegah
penyakit ini antara lain berupa makan makanan yang bernilai gizi
baik, minum banyak, istirahat yang cukup, rekreasi dan olahraga yang sesuai
untuk mengatasi
penyakit. Penderita dianjurkan banyak minum kecuali bila dilarang dokter,
karena menderita penyakit lain seperti penyakit jantung atau ginjal yang berat.
b.
Menjaga Kebersihan Lingkungan
Lingkungan
dimana penderita hidup sehari-hari sangat mempengaruhi timbulnya serangan
penyakit asma. Keadaan rumah misalnya sangat penting diperhatikan. Rumah
sebaiknya tidak lembab, cukup ventilasi dan cahaya matahari. Sebaiknya alat-alat
tidur tidak terbuat dari kabu-kabu.
B. Konsep Dasar Keperawatan
- Pengkajian
a. Pola persepsi dan
pemeliharaan kesehatan
1) Riwayat keluarga asma dan
alergi.
2) Baru saja mengalami ISPA
atau sinusitis.
3) Riwayat alergi
4) Riwayat obat-obat yang biasa
digunakan.
b. Pola nutrisi metabolik
1) Mengeluh mual dan tidak
nafsu makan karena distress pernapasan.
2) Tidak mau makan selama
serangan.
c. Pola eliminasi
1)
Adakah perubahan pola berkemih dan air
besae
2)
Bising usus negatif
d. Pola aktivitas dan latihan
1) Sesak, batuk produktif
dengan sputum kuning atau hijau.
2) Ortopnea.
e. Pola tidur dan istirahat
1) Kurang tidur karena sesak
2) Insomnia.
f. Pola persepsi kognitif
1) Klien mampu mengungkapkan
strategi mengatasi serangan akut tapi tidak mampu menggunakan efektif selama
serangan (panik).
g. Pola persepsi dan konsep
diri
1) Merasa sebagai orang yang
lemah atau sakit-sakitan, perubahan body image.
h. Pola hubungan dengan sesama
1) Mengeluh karena serangan
dicetuskan oleh orang-orang sekitar, seperti : asap, rokok.
i.
Pola reproduksi seksualitas
1)
Adakah gejala penurunan libido
j.
Pola koping dan toleransi terhadap stress.
1) Cemas, marah, putus asa.
k. Pola sistem kepercayaan
1) Percaya bahwa Tuhan harapan hidupnya
2)
Percaya bahwa ini merupakan cobaan dari
Tuhan
- Diagosa
Keperawatan
a.
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan sekret.
b.
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan
suplai O2.
c.
Intoleransi beraktivitas dalam melakukan perawatan diri
berhubungan dengan sesak dan kelemahan fisik.
d.
Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan pemasukan yang tidak adekuat: mual, muntah dan tidak
nafsu makan.
e.
Kecemasan berhubungan dengan sesak nafas dan takut.
f.
Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan
ekspansi paru selama serangan akut.
g.
Resiko tinggi infeksi sekunder berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahan utama (penurunan kerja silia dan menetapnya sekret).
h.
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi.
- Rencana
Tindakan
a.
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan
dengan peningkatan sekret.
HYD: - Suara
nafas vesikuler
-
Bunyi nafas bersih, tidak ada suara tambahan
Intervensi:
1.
Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas
misalnya mengi, krekels, ronchi.
R/ Beberapa
derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas dan dapat/tidak
dimanifestasikan adanya bunyi nafas adventisius misalnya: penyebaran, krekels
basah (bronkitis), bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi (emfisema) atau
tidak adanya bunyi nafas (asma berat).
2.
Kaji/pantau frekuensi pernafasan, catat radio
inspirasi/ekspirasi.
R/ Tachipnea
biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau
selama stress/adanya proses infeksi akut. Pernafasan dapat melambat dan
frekuensi ekspirasi memanjang dibanding inspirasi.
3.
Catat adanya derajat dyspnea misalnya keluhan “lapar
udara”, gelisah, ansietas, distress pernafasan, penggunaan otot bantu.
R/ Disfungsi
pernafasan adalah variabel yang tergantung pada tahap proses kronis selain
proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit. Misalnya infeksi, reaksi
alergi.
4.
Kaji pasien untuk posisi yang nyaman misalnya
peninggian kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.
R/ Peninggian
kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi.
Sokongan tangan/kaki dengan meja, bantal, dll membantu menurunkan kelemahan otot
dan dapat sebagai alat ekspansi dada.
5.
Pertahankan polusi lingkungan minimum misalnya: debu,
asap dan bulu bantal yang berhubungan dengan kondisi individu.
R/ Pencetus
tipe reaksi alergi pernafasan yang dapat, mentriger episode akut.
6.
Dorong/bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
R/ Memberikan
pasien-pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dyspnea dan
menurunkan jebakan udara.
7.
Observasi karakteristik batuk misalnya menetap, batuk
pendek, basah. Bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan upaya batuk.
R/ Batuk dapat
menetap tetapi tidak efektif, khususnya bila pasien lansia, sakit akut atau
kelemahan. Batuk paling efektif pada posisi duduk tinggi atau kepala di bawah
setelah perkusi dada.
8.
Tingkatkan masukan cairan antara sebagai pengganti makanan.
R/ Hidrasi membantu menurunkan kekentalan
sekret. Mempermudah pengeluaran. Penggunaan cairan hangat dapat menurunkan
spasme bronkus. Cairan selama makan dapat meningkatkan distensi gaster dan
tekanan pada diafragma.
b.
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan
suplai O2.
HYD: - Menunjukan
perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan dalam rentang normal
dan bebas gejala distress pernafasan.
Intervensi:
1.
Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan.
R/ Berguna
dalam evaluasi derajat distress pernafasan atau kronisnya penyakit.
2.
Awasi secara rutin kulit dan membran mukosa.
R/ Kemungkinan
cyanosis perifer terlihat pada kuku, bibir dan daun telinga.
3.
Kaji AGD, pO2, pCO2.
R/ Hipoxemia
biasanya terjadi pada saat akut keadaan lanjut pCO2 akan meningkat.
4.
Monitor tingkat kesadaran, kelainan sakit kepala dan
gangguan penglihatan.
R/ Sebagai
parameter menunjukan beratnya serangan.
5.
Monitor TTV dan penggunaan otot bantu pernafasan.
R/ Indikator
yang menunjukan hipoxemia dan meningkatkan usaha untuk ventilasi.
c.
Intoleransi beraktivitas dalam melakukan perawatan diri
berhubungan dengan sesak dan kelemahan fisik.
HYD: - Mampu
beraktivitas sesuai keadaan.
-
Merawat diri secara mandiri.
Intervensi:
1.
Kaji keluhan sesak, pusing dan kemampuan merawat diri
klien.
R/ Memahami
masalah klien.
2.
Bantu personal higiene (mandi, berpakaian, bab, bak).
R/ Higiene
klien terpenuhi.
d.
Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan pemasukan yang tidak adekuat akibat dari mual, muntah, tidak
nafsu makan.
HYD: - Nutrisi
terpenuhi secara adekuat.
-
Berat badan dalam batas normal sesuai IMT.
Intervensi:
1.
Kaji status nutrisi klien.
R/ Klien dengan
distress pernafasan sering anoreksia dikarenakan dyspnea, produksi sputum dan
obat-obatan.
2.
Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
R/ Kegagalan
pernafasan membuat status hipermetabolik dengan peningkatan kebutuhan kalori.
3.
Auskultasi bising usus.
R/ Penurunan
bising usus menunjukan penurunan motilitas gaster dan konstipasi yang
berhubungan dengan penurunan aktivitas.
4.
Hindarkan makanan yang menghasilkan sisa gas dan
karbonat.
R/ Dapat
menghasilkan distensi abdomen yang mengganggu pernafasan abdomen.
5.
Beri makanan porsi kecil dan sering.
R/ Membantu
menurunkan kelemahan selama waktu makan dan memberikan kesempatan untuk
meningkatkan masukan kalori total.
e.
Kecemasan berhubungan dengan sesak nafas dan takut.
HYD: - Ekspresi
wajah rileks.
-
Mengungkapkan perasaan cemas berkurang.
-
TTV dalam batas normal.
Intervensi:
1.
Kaji tingkat ansietas (ringan, sedang, berat).
R/ Untuk
menentukan intervensi selanjutnya dan membantu pasien meningkatkan beberapa
perasaan kontrol emosi.
2.
Kaji kebiasaan ketrampilan koping.
R/ Memberikan
pasien tindakan mengontrol untuk menurunkan ansietas dan ketegangan otot.
3.
Beri dukungan emosional, tetap berada di dekat pasien
selama serangan akut, antisipasi kebutuhan pasien, berikan keyakinan
lingkungan.
R/ Menurunkan
stress dan meningkatkan relaksasi dan kemampuan koping.
4.
Implementasikan teknik relaksasi, petunjuk imajinasi,
relaksasiotot.
R/ Memberikan
pasien untuk tindakan mengontrol untuk menurunkan ansietas dan ketegangan otot.
5.
Jelaskan prosedur-prosedur, berikan
pertanyaan-pertanyaan.
R/ Menurunkan
stress dan meningkatkan relaksasi.
6.
Pertahankan periode istirahat yang telah direncanakan
dan kegiatan sehari-hari yang ringan dan sederhana, jangan anjurkan berbicara
bila sedang dyspnea berat, batasi pengunjung bila perlu dan berikan dorongan
untuk melakukan periode istirahat dengan sering.
R/ Menurunkan
stress dan meningkatkan relaksasi.
f.
Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
penurunan ekspansi paru selama serangan akut.
HYD: Pasien mempertahankan pola nafas efektif
yang ditunjukan oleh:
-
Frekuensi irama dan kedalaman pernafasan.
-
Tidak terdapat atau dyspnea berkurang.
-
Gas-gas darah arteri dalam batasan yang dapat diterima
oleh pasien.
Intervensi:
1.
Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada
serta catat upaya pernafasan termasuk penggunaan otot bantu atau pelebaran
nasal.
R/ Kecepatan
biasanya meningkatkan dyspnea dan terjadi peningkatan kerja nafas, kedalaman
pernafasan bervariasi tergantung derajat gagal nafas.
2.
Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas
adventisius seperti krekels, mengi, gesekan pleural.
R/ Ronchi dan
mengi menyertai obstruksi jalan nafas/kegagalan pernafasan.
3.
Beri posisi semi fowler.
R/ Membantu
ekspansi paru.
4.
Bantu pasien dalam nafas dalam dan latihan batuk
efektif.
R/ Membantu
mengeluarkan sputum dimana dapat mengganggu ventilasi dan ketidaknyamanan upaya
bernafas.
5.
Berikan therapi oksigen sesuai pesanan.
R/ Memaksimalkan
persediaan oksigen untuk pertukaran gas.
6.
Berikan obat-obatan sesuai pesanan.
R/ Mempercepat
penyembuhan.
g.
Resiko tinggi infeksi sekunder berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret.
HYD: Tidak terjadi
infeksi ditandai dengan tidak ditemukannya kemerahan, panas dan pembengkakan.
Intervensi:
1.
Observasi TTV.
R/ Indikator
tanda-tanda infeksi.
2.
Observasi warna, karakter dan bau sputum.
R/ Sekret
berbau kuning atau kehijauan menunjukan adanya infeksi paru.
3.
Anjurkan pasien membuang tissue dan sputum pada
tempatnya.
R/ Mencegah
penyebaran patogen melalui cairan.
4.
Dorong keseimbangan antara aktivitas dengan istirahat.
R/ Menurunkan
konsumsi atasu kebutuhan keseimbangan oksigen dan memperbaiki pertahanan pasien
terhadap infeksi, meningkatkan penyembuhan.
5.
Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
R/ Malnutrisi
dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi.
6.
Berikan obat sesuai pesanan.
R/ Mencegah
terjadinya infeksi.
h.
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya
informasi.
HYD: Pasien mendemonstrasikan pengetahuan tentang
penatalaksanaan perawatan kesehatan seperti yang dijelaskan tentang prinsip
perawatan diri yang berhubungan dengan proses penyakit.
Intervensi:
1.
Kaji tingkat pengertian mengenai proses penyakit.
R/ Untuk
menentukan intervensi selanjutnya.
2.
Jelaskan pentingnya pencegahan, serangan selanjutnya.
R/ Menambah
pengetahuan dan partisipasi pasien.
3.
Jelaskan pentingnya latihan pernafasan dan batuk
efektif.
R/ Membantu
meminimalkan kolaps jalan nafas.
4.
Jelaskan tentang proses penyakit dan perawatan diri
selama serangan hebat.
R/ Menurunkan
ansietas dan dapat kooperatif dari pasien.
5.
Jelaskan pentingnya diit dan cairan: makan seimbang dan
bergizi, hindari penambah berat badan yang berlebihan, perbanyak cairan
2000-3000 ml/hari kecuali ada kontraindikasi.
R/ Meningkatkan
kooperatif dari pasien.
6.
Diskusikan mengenai obat, nama, dosis, waktu pemberian,
tujuan dan efek samping serta pentingnya minum obat sesuai pesanan.
R/ Meningkatkan
pengetahuan pasien dan pasien dapat kooperatif dalam proses penyembuhannya.
4. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan asuhan kerawatan merupakan realisasi
daripada rencana tindakan keperawatan yang telah di terapkan meliputi tindakan
idependent, dependent, interdependent. Pada pelaksanaan terdiri dari bebrapa
kegiatan, validasi, rencana keperawatan, mendokumentasikan rencan akeperawatan
memberikan asuhan keperawatan dan pengumpulan data. (Susan Martin, 1998).
5. Evaluasi
Evaluasi adalah hasil akhir dari proses
keperawatan di lakukan untuk mengetahui sampai dimana keberhasilan tindakan
yang di berikan sehingga dapat menentukan intervensi yang akan di lanjutkan.
a.
Suara nafas vesikuler
b.
Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigenasi
jaringan adekuat dengan dalam rentang normal dan bebas gejala distress
pernafasan.
c.
Mampu beraktivitas sesuai keadaan.
d.
Nutrisi terpenuhi secara adekuat.
e.
Ekspresi wajah rileks.
f.
Pasien mempertahankan pola nafas efektif.
g.
Tidak terjadi infeksi ditandai dengan tidak
ditemukannya kemerahan, panas dan pembengkakan.
h.
Pasien mendemonstrasikan pengetahuan tentang
penatalaksanaan perawatan kesehatan seperti yang dijelaskan tentang prinsip
perawatan diri yang berhubungan dengan proses penyakit.
6. Discharge Planning
1.
Pasien dengan asma kambuhan harus menjalani
pemeriksaan, mendeteksi substansi yang mencetuskan terjadinya serangan.
2.
Menghindari agen penyebab serangan antara lain bantal,
kasur (kapas), pakaian jenis tertentu, hewan peliharaan, kuda, sabun, makanan
tertentu, jamur dan serbuk sari.
3.
Menganjurkan pasien untuk segera melaporkan tanda-tanda
dan gejala yang menyulitkan seperti bangun saat malam hari dengan serangan akut
atau mengalami infeksi pernafasan.
4.
Hidrasi adekuat harus dipertahankan untuk menjaga
sekresi agar tidak mengental.
5.
Pasien harus diingatkan bahan infeksi harus dihindari
karena infeksi dapat mencetuskan serangan.
6.
Menggunakan obat-obat sesuai dengan resep.
7.
Kontrol ke dokter sesuai pesanan.
7.
Fungsi Etik
dan Legal
Advokat
Membela hak klien dengan: Memberikan perawatan
sebaik mungkin kepada pasien. Jika dalam melakukan suatu tindakan, pasien tidak
didampingi oleh keluarga nya atau kerabat dekat nya maka sebagai perawat kita
dapat meminta persetujuan dari pasien itu sendiri bila masih dalam keadaan sadar,
sehingga bukti hukum menjadi kuat dan semua tindakan dilakukan secara legal.
Kode Etik
a. Kita harus
memberikan informasi yang sebenarnya mengenai keadaan atau kondisi pasien.
b.
Memberikan tindakan keperawatan sesuai prosedur
perawatan dan penuh tanggungjawab.
c.
Memberikan tindakan tanpa membedakan antara
pasien yang satu dengan yang lain nya.
d.
Menjaga privasi pasien mengenai penyakitnya.
PENDIDIKAN KESEHATAN
SATUAN
ACARA PENYULUHAN
(SAP)
Tema :
Penyakit Sistem Respirasi
Sub Tema : Penyakit Asma
Sasaran : Bp. X
Tempat :
Rumah Sakit A
Hari/Tanggal : Senin, 3 Desember
2012
Waktu : 30 Menit
A. Tujuan Instruksional Umum
Setelah mengikuti penyuluhan selama 30 menit,
diharapkan Bp. X dapat menjelaskan penyakit Asma.
B. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mengikuti penyuluhan selama 30
menit, diharapkan Klien dapat:
1.
Menjelaskan pengertian penyakit Asma dengan
benar
2.
Menyebutkan faktor penyebab yang dapat
menimbulkan penyakit Asma
3.
Menyebutkan tanda/gejala dari penyakit Asma
4.
Menyebutkan penatalaksanaan penyakit Asma
5.
Menyebutkan komplikasi penyakit Asma
C. Materi
1.
Pengertian penyakit Asma
2.
Faktor penyebab dari penyakit Asma
3.
Tanda/gejala penyakit Asma
4.
Penatalaksanaan penyakit Asma
5.
Komplikasi penyakit Asma
D. Metode
1.
Ceramah
2.
Tanya jawab
E. Kegiatan Penyuluhan
No
|
Kegiatan
|
Penyuluh
|
Peserta
|
Waktu
|
1.
|
Pembukaan
|
·
Salam pembuka
·
Menyampaikan tujuan penyuluhan
|
·
Menjawab salam
·
Menyimak,
Mendengarkan,
menjawab pertanyaan
|
5 Menit
|
2.
|
Kerja/ isi
|
·
Penjelasan pengertian, penyebab, gejala,
penatalaksanaan dan patofisiologi penyakit Myocarditis
·
Memberi kesempatan peserta untuk bertanya
·
Menjawab pertanyaan
·
Evaluasi
|
·
Mendengarkan dengan penuh perhatian
·
Menanyakan hal-hal yang belum jelas
·
Memperhatikan jawaban dari penceramah
·
Menjawab pertanyaan
|
15
menit
|
3.
|
Penutup
|
·
Menyimpulkan
·
Salam penutup
|
·
Mendengarkan
·
Menjawab salam
|
10 Menit
|
F. Media
Leaflet:
Tentang penyakit Asma
G. Sumber/Referensi
a.
Doenges, E. Marilynn. 1999. Rencana Asuhan
Keperawatan Ed. 3. EGC : Jakarta.
b.
Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran.
EGC : Jakarta.
c.
FKUI. 1999. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid
1. FKUI : Jakarta.
H. Evaluasi
Formatif:
1.
Klien dapat menjelaskan pengertian penyakit Asma
2.
Klien mampu menyebutkan faktor penyebab dari
penyakit Asma
3.
Klien dapat menyebutkan tanda/gejala penyakit Asma
4.
Klien
mampu menyebutkan penatalaksanaan penyakit Asma
5.
Klien mampu menyebutkan komplikasi penyakit
Asma.
Sumatif:
Klien dapat
memahami penyakit penyakit Asma
Yogyakarta, 3 Desember 2012
Penyuluh
(Guntur
Marct Aditya)
9. Jurnal
Dampak Pedoman
Obat Asma Asma Pada Penggunaan Controller Dan Pada Tingkat Asma Eksaserbasi
Membandingkan 1997-1998 Dan 2004-2005.
Penulis :
Peringkat MA, Liesinger JT, Ziegenfuss JY, Branda ME, Lim KG, BP Yawn; Shah ND
Sumber : Annals
Of Alergi, Asma & Imunologi
Abstrak :
Latar Belakang:
Hubungan antara penggunaan obat asma kontroler dan tingkat eksaserbasi dari
waktu ke waktu tidak jelas pada tingkat populasi.
Tujuan: Untuk
memperkirakan perubahan dalam penggunaan obat asma kontroler antara 2 periode
waktu yang diukur dengan rasio kontroler-to-total obat asma dan hubungannya
dengan perubahan tingkat eksaserbasi asma antara 1997-1998 dan 2004-2005.
Metode: Desain
penelitian adalah cross-sectional tingkat populasi perbandingan antara individu
dari 1997-1998 dan 2004-2005. Peserta penelitian adalah individu usia 5 sampai
56 tahun yang diidentifikasi sebagai memiliki asma dalam Medical Pengeluaran
Panel Survey (MEPS). Ukuran hasil utama adalah controller-to-total asma rasio
obat lebih besar dari 0,5 dan tingkat eksaserbasi asma (pengeluaran kunjungan
departemen sistemik kortikosteroid atau darurat / rawat inap untuk asma) tahun
1997-1998 dibandingkan dengan 2004-2005.
Hasil: Proporsi
individu dengan controller-to-total rasio obat asma lebih besar dari 0,5,
ketika disesuaikan dengan faktor demografis lainnya, telah meningkat sebesar
16,1% (95% CI: 10,8%, 21,3%) untuk semua individu tahun 1997-1998 untuk
2004-2005. Tingkat asma eksaserbasi tahunan tidak berubah secara signifikan
dalam setiap kelompok dari 1997-1998 hingga 2004-2005 (0.27/year ke 0.23/year).
Individu Amerika dan Hispanik Afrika dengan asma memiliki tingkat eksaserbasi
asma lebih tinggi dan proporsi yang lebih rendah dengan rasio
kontroler-to-total obat asma lebih besar dari 0,5 dibandingkan kulit putih di
kedua 1997-1998 dan 2.004-2.005, namun perbedaan tersebut tidak signifikan
secara statistik.
Kesimpulan:
Peningkatan asma kontroler-to-total rasio obat dalam sampel mencerminkan
penduduk AS tidak terkait dengan tingkat eksaserbasi asma menurun membandingkan
1997-1998 dan 2004-2005.
DAFTAR PUSTAKA
- Doengoes, E. Marilynn. (1993). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
- Smeltzer and Brenda (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol. 1, Jakarta : EGC.
- Lewis, Sharon Mantik. (2000). Medical Surgical Nursing : Assessment and Management of Clinical Problems. Fifth Edition. Missouri : Mosby Inc.
- Luckman and Sorensen’s (1993). Medical Surgical Nursing : A Psychophysiologic Approach. Fourth edition. Washington : W.B. Saunders Company.
- MIMS Indonesia petunjuk konsultasi edisi 7,
- http://web.ebscohost.com/ehost/detail?sid=7ccdd710-a753-4993-85e4-13899e40b321%40sessionmgr113&vid=1&hid=112&bdata=JnNpdGU9ZWhvc3QtbGl2ZQ%3d%3d#db=mnh&AN=22192958
download disini
ASMA BAB 2.1 KDM.DOC -atau
konsep dasar keperawatan download disini
ASMA BAB 2.2 KDK.DOC -
0 komentar :
Posting Komentar