BAB
I
LANDASAN
TEORI
A.
PENGERTIAN
Karsinoma nasofaring merupakan tumor
ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller
dan atap nasofaring. Karsinoma
nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan
di Indonesia. (Efiaty & Nurbaiti, 2001)
B.
ANATOMI
DAN FISIOLOGI SYSTEM PERNAFASAN ATAS
Sitem pernafasan atas terdiri atas :
a.
Hidung
Terdiri
dari bagian internal dan eksternal. Bagian eksternal menonjol dari wajah dan
disangga oleh tulang hidung dan kartilago. Nares anterior (lubangh hidung)
merupakan osteum sebelah luar rongga hidung.
Bagian
internal hidung adalah rongga berlorong yang dipisahkan oleh septum menjadi
rongga kanan dan kiri. Masing-masing rongga dibagi tiga saluran oleh penonjolan
turbinasi (konka) dari dinding lateral. Rongga hidung dilapisi oleh membrane
mukosa. Lendir diproduksi/disekresi terus menerus oleh sel-sel goblet yang
melapisi permukaan mukosa hidung dan bergerak ke nasofaring oleh gerakan silia.
Ketika udara masuk ke roingga hidung, udara tersebut disaring, dihangatkan dan
dilembabkan (merupakan fungsi utama mukosa respirasi yang terdiri dari epitel
bertingkat, bersilia dan ber sel goblet). Partikel debu yang kasar dapat
disaring oleh rambut-rambut yang terdapat pada lubang hidung sedangkan partikel
halus akan terjerat lapisan mucus. Air untuk melembabkan diberikan oleh lapisan
mucus, panas yang disuplai ke udara berasal dari jaringan dibawahnya yang kaya
pembuluh darah.
b.
Sinus
paranasal
Terdiri
dari sinus frontalis, etmoidalis, stenoidalis dan maksilaris. Merupakan empat
pasang rongga bertulang yang dilapisi oleh
mukosa hidung dan epitel kolumner nbertingkat semu yang bersilia.
Rongga-rongga udara ini dihubuingkan oleh duktus yang mengalir dalam rongga
hidung. Fungsi sinus yang menonjol sebagai bilik personansi saat bicara.
c.
Faring/Tenggorok,
Tonsil dan Adenoid
Adalah
organ yang menghubungkan hidung dan rongga mulut ke laring. Merupakan pipa
berotot berbentuk cerobong yang berjalan dari dasar tengkorak sampai
persambungannya dengan esophagus pada ketinggian kartilago krikoid. Faring
dibagi menjadi tiga region : nasal, oral dan laring.
1)
Nasopharing
Terletak
sebelah posterior hidung dan diatas palatum mole.
Nasofaring tidak bergerak, berfungsi
dalam proses pernafasan dan ikut menentukan kualitas suara yang dihasilkan oleh
laring. Nasofaring merupakan rongga yang mempunyai batas-batas sebagai berikut
: Atas : basis cranii, bawah : palatum
mole,belakang : vertebra servikalis, depan : koane , lateral : ostium tuba
eustachii, torus tubaris,fossa rosenmuler ( resesus faringeus). Terdapat
epitel bersilia ( pseudostratified), sebagai muara tuba eustahius dan disana
terdapat tonsil ( adenoid ). Adenoid atau faringeal tonsil berada di langit –
langit dari nasofaring. Tenggorokan dikelilingi oleh tonsil,adenoid dan
jaringan limfoid lainnya. Struktur ini penting sebagai mata rantai nodus
limfatikus untuk penjagaan tubuh dari invasi organism yang masuk ke hidung dan
tenggorokan.
2)
Orofaring
Berfungsi
menampung udara dari nasofaring dan makanan dari mulut, disana terdapat tonsil
palatina( posterior ) dan tonsil lingualis ( dasar lidah )
3)
Laringofaring
Memanjang
dari tulang hyoid ke kartilago krikoid.
Merupakan
bagian terbawah faring yang berhubungan dengan esophagus dibagian belakang
serta pita suara ( trakea ) dibagian depan yang berfungsi pada saat proses
menelan dan respirasi
d.
Laring
Laring
atau organ suara adalah struktur epitel kartilago yang menghubungkan faring dan
trachea. Laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan. Fungsi utama laring
adalah untuk memungkinkan terjadinya vokalisasi. Laring juga melindungi jalan
nafas bawah dari obstruksi benda asing dan memudahkan batuk. Laring terdiri
atas:
1) Epiglottis
Daun
katup kartilago yang nmenutupi ostium kea rah laring selama menelan
2) Glottis
Ostium
antara pitas suara dalam laring
3) Kartilago
tiroid
Kartilago
terbesar pada trachea, sebagian kartilago ini membentuk jakun (adam’s apple)
4) Kartilago
krikoid
Satu-satunya
cincin kartilago yuang komplit dalam laring (terletak di bawah kartlago tiroid)
5) Kartilago
aritenoid
Digunakan
dalam gerakan pita suara dengan kartilago tiroid
6) Pita
suara
Ligament
yang di control oleh gerakan otot yang menghasilkan bunyi suara. Pita suara
melakat pada lumen laring
C. ETIOLOGI
DAN FAKTOR RISIKO
Penyebab timbulnya Karsinoma Nasofaring
masih belum jelas. Namun banyak yang berpendapat bahwa berdasarkan
penelitian-penelitian epidemiologik dan eksperimental, ada 5 faktor yang
mempengaruhi yakni :
1.
Faktor Genetik
Banyak pada suku bangsa
Tionghoa/ras mongolid, mempunyai garis
keturunan penderita kanker nasofaring.
2.
Faktor Virus (Virus EIPSTEIN BARR)
3.
Faktor lingkungan
Sering mengisap udara yang penuh asap
atau rumah yang pergantian
udaranya kurang baik ,polusi asap
kayu bakar,aap rokok atau bahan
karsinogenik misalnya Sering
mengonsumsi makanan yang mengandung bahan pengawet, termasuk makanan yang
diawetkan dengan cara diasinkan atau diasap dll.
4.
Iritasi menahun : nasofaringitis kronis
disertai rangsangan oleh asap, alkohol dll.
5.
Hormonal : adanya estrogen yang tinggi
dalam tubuh.
D.
KLASIFIKASI
1.
Menurut Histopatologi :
a.
Well differentiated epidermoid carcinoma.
i.
Keratinizing
ii.
Non Keratinizing.
b. Undifferentiated epidermoid
carcinoma = anaplastic carcinoma
i.
Transitional
ii.
Lymphoepithelioma.
c. Adenocystic carcinoma
2.
Menurut bentuk dan cara tumbuh
a. Ulseratif
b. Eksofilik : Tumbuh keluar
seperti polip.
c. Endofilik :Tumbuh di bawah mukosa, agar
sedikit lebih tinggi dari jaringan
sekitar (creeping tumor)
3.
Klasifikasi Histopatologi menurut WHO (1982)
a. Tipe WHO 1
Ø Karsinoma sel skuamosa (KSS)
Ø Deferensiasi baik sampai sedang.
Ø Sering eksofilik (tumbuh
dipermukaan).
b. Tipe WHO 2
Ø Karsinoma non keratinisasi (KNK).
Ø Paling banyak variasinya.
Ø Menyerupai karsinoma transisional
c. Tipe WHO 3
Ø
Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD).
Ø
Seperti antara lain limfoepitelioma,
Karsinoma anaplastik, “Clear Cell
Carsinoma”, varian sel spindel.
Ø
Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik.
4.
Klasifikasi TNM
Menurut International Union Against
Cancer (UICC,1987 ) pembagian TNM adalah sebagai berikut :
T1 =
Tumor terbatas pada satu sisi nasofaring
T2 =
Tumor terdapat lebih dari satu bagian nasofaring.
T3 =
Tumor menyebar ke rongga hidung atau orofaring.
T4 =
Tumor menyebar ke endokranium atau mengenai syaraf otak.
N1 =
Metastasis ke kelenjar getah bening pada sisi yang sama, mobil,
soliter dan berukuran kurang/sama dengan 3
cm.
N2 =
Metastasis pada satu kelenjar pada sisi yang sama dengan ukuran
Lebih dari 3 cm tetapi kurang
dari 6 cm, atau multipel dengan ukuran besar kurang dari 6 cm, atau
bilateral/kontralateral dengan ukuran terbesar kurang dari 6 cm.
N3 =
Metastasis ke kelenjar getah bening ukuran lebih besar dari 6 cm.
M0 =
Tidak ada metastasis jauh.
M1 =
Didapatkan metastasis jauh.
Penentuan Stadium
Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T2 N0 M0
Stadium III T3 N0 M0
T1 – 3 N1 M0
Stadium IV T4 N0 – 1 M0
Semua T N2 – 3 M0
Semua T Semua N M1
Lokasi :
1
Fossa Rosenmulleri.
2
Sekitar tuba Eustachius.
3
Dinding belakang nasofaring.
4
Atap nasofaring.
E. PATHOFISIOLOGI
F. MANIFESTASI
KLINIK
1. Gejala Setempat :
Gejala Hidung :
Pilek dari satu
atau kedua lubang hidung yang terus-menerus/kronik.
Lendir dapat
bercampur darah atau nanah yang berbau.
Epistaksis
dapat sedikit atau banyak dan berulang.
Dapat juga
hanya berupa riak campur darah.
Obstruksio nasi
unilateral atau bilateral bila tumor tumbuh secara eksofilik
Gejala Telinga :
ü Kurang, pendengaran.
ü Tinitus
ü OMP.
2. Gejala karena
tumbuh dan menyebarnya tumor
Merupakan
gejala yang timbul oleh penyebaran tumor secara ekspansif, infiltratif dan
metastasis.
a.
Ekspansif
A
Ke muka, tumor tumbuh ke depan mengisi nasofaring dan
menutuk koane sehingga timbul gejala obstruksi nasi/hidung buntu.
A
Ke bawah, tumor mendesak palatum mole sehingga terjadi
“bombans palatum mole” sehingga timbul gangguan menelan/sesak.
b.
Infiltratif
A
Ke atas :
Melalui
foramen ovale masuk ke endokranium, maka terkena dura dan timbul sefalgia/sakit
kepala hebat, Kemudian akan terkena N VI, timbul diplopia, strabismus. Bila
terkena N V, terjadi Trigeminal neuralgi dengan gejala nyeri kepala hebat pada
daerah muka, sekitar mata, hidung, rahang atas, rahang bawah dan lidah. Bila
terkena N III dan IV terjadi ptosis dan oftalmoplegi. Bila lebih lanjut lagi
akan terkena N IX, X, XI dan XII.
A
Ke samping :
Masuk
spatium parafaringikum akan menekan N IX dan X :
Terjadi Paresis palatum mole, faring dan laring dengan gejala regurgitasi
makan-minum ke kavum nasi, rinolalia aperta dan suara parau.
Menekan
N XI : Gangguan fungsi otot
sternokleido mastoideus dan otot trapezius.
Menekan N XII:
Terjadi Deviasi lidah ke samping/gangguan menelan
c.
Gejala karena metastasis melalui aliran
getah bening :
Terjadi pembesaran kelenjar leher yang
terletak di bawah ujung planum mastoid, di belakang ungulus mandibula, medial
dari ujung bagian atas muskulus sternokleidomastoideum, bisa unilateal dan
bilateral. Pembesaran
ini di sebut tumor colli.
d.
Gejala karena metastasis melalui aliran
darah :
Akan terjadi metastasis jauh yaitu
paru-paru, ginjal, limpa, tulang dan sebagainya.
Gejala di atas
dapat dibedakan antara :
I.
Gejala Dini :
Merupakan gejala yang dapat timbul
waktu tumor masih tumbuh dalam batas-batas nasofaring, jadi berupa gejala
setempat yang disebabkan oleh tumor primer (gejala-gejala hidung dan
gejala-gejala telinga seperti di atas).
II.
Gejala Lanjut :
Merupakan gejala yang dapat timbul
oleh karena tumor telah tumbuh melewati batas nasofaring, baik berupa
metastasis ataupun infiltrasi dari tumor.
Sebagai pedoman
:
Ingat akan
adanya tumor ganas nasofaring bila dijumpai TRIAS :
1.
Tumor colli, gejala telinga, gejala
hidung.
2.
Tumor colli, gejala intrakranial
(syaraf dan mata), gejala hidung dan telinga.
3.
Gejala Intrakranial, gejala hidung dan
telinga.
G. PEMERIKSAAN
DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan Fisik
A
Inspeksi : Wajah, mata, rongga mulut dan leher.
A
Pemeriksaan THT:
-
Otoskopi : Liang telinga, membran timpani.
-
Rinoskopia anterior :
Pada tumor endofilik tak jelas kelainan
di rongga hidung, mungkin hanya banyak sekret.
Pada tumor
eksofilik, tampak tumor di bagian belakang rongga hidung, tertutup sekret
mukopurulen, fenomena palatum mole negatif.
-
Rinoskopia posterior :
Pada tumor
indofilik tak terlihat masa, mukosa nasofaring tampak agak menonjol, tak rata
dan paskularisasi meningkat.
Pada tumor
eksofilik tampak masa kemerahan.
-
Faringoskopi dan laringoskopi :
Kadang faring menyempit karena penebalan
jaringan retrofaring; reflek muntah dapat menghilang.
2. Pemeriksaan Penunjang
a.
Pemeriksaan CT-Scan daerah
kepala dan leher untuk mengetahui keberadaan tumor sehingga tumor primer yang
tersembunyi pun akan ditemukan.
- Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA
untuk mengetahui infeksi virus E-B.
- Untuk diagnosis pasti ditegakkan dengan Biopsi
nasofaring dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan mulut.
Dilakukan dengan anestesi topikal dengan Xylocain 10 %.
- Pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring
dalam narkosis.
- Biopsi :
Biopsi sedapat
mungkin diarahkan pada tumor/daerah yang dicurigai. Dilakukan dengan anestesi
lokal.
Biopsi minimal
dilakukan pada dua tempat (kiri dan kanan), melalui rinoskopi anterior, bila
perlu dengan bantuan cermin melalui rinoskopi posterior.
Bila perlu
Biopsi dapat diulang sampai tiga kali.
Bila tiga kali
Biopsi hasil negatif, sedang secara klinis mencurigakan dengan karsinoma
nasofaring, biopsi dapat diulang dengan anestesi umum.
Biopsi melalui
nasofaringoskopi dilakukan bila klien trismus atau keadaan umum kurang baik.
Biopsi kelenjar
getah bening leher dengan aspirasi jarum halus dilakukan bila terjadi keraguan
apakah kelenjar tersebut suatu metastasis.
H. EPIDEMIOLOGI
Kanker nasofaring banyak dijumpai pada orang-orang ras
mongoloid, yaitu penduduk Cina bagian selatan, Hong Kong, Thailand, Malaysia dan Indonesia juga di daerah India. Ras kulit putih jarang ditemui terkena kanker jenis
ini. Selain itu kanker nasofaring juga merupakan jenis kanker yang diturunkan
secara genetik. Urutan tertinggi
penderita karsinoma nasofaring adalah suku mongoloid yaitu 2500 kasus baru
pertahun. Diduga disebabkan karena mereka memakan makanan yang diawetkan dalam
musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamin. (Efiaty &
Nurbaiti, 2001 hal 146). Kanker nasofaring umumnya menyerang orang tua, anak anak
serta sebagian remaja dan pemuda berusia 30 tahun, umumnya kasus kanker nasofaring
akan meningkat tajam dalam 40-60 tahun lalu setelah memasuki usia 65 tahun,
resiko penyakit ini akan mulai menurun.
I. PENATALAKSANAAN
1.
Terapi utama : Radiasi/Radioterapi ® ditekankan
pada penggunaan megavoltage dan
pengaturan dengan komputer (4000 – 6000 R)
2.
Terapi tambahan : diseksi leher,
pemberian tetrasiklin, faktor transfer, inferferon, Sitostatika/Kemoterapi,
seroterapi, vaksin dan anti virus. Semua
pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi masih
tetap terbaik sebagai terapi ajuvan (tambahan). Berbagai macam kombinasi
dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cis-platinum
sebagai inti. Pemberian ajuvan kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan
5-fluorouracil sedang dikembangkan di bagian THT Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga dengan hasil sementara yang cukup memuaskan. Demikian
pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan
efirubicin dan cis-platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi
memberikan harapan kesembuhan yang lebih baik.Kombinasi
kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral sebelum diberikan
radiasi yang bersifat “RADIOSENSITIZER”.
J. KOMPLIKASI
Sel-sel
kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai
organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk.
Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %.
Komplikasi lain yang biasa dialami adalah terjadinya pembesaran kelenjar getah bening pada leher dan kelumpuhan saraf kranial.
organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk.
Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %.
Komplikasi lain yang biasa dialami adalah terjadinya pembesaran kelenjar getah bening pada leher dan kelumpuhan saraf kranial.
K. PROGNOSIS
Untuk kanker nasofaring stadium awal
yang belum ditemukan adanya penyebaran, pengobatan yang paling efektif adalah
tindakan pembedahan, pasien yang menjalani bedah kanker nasofaring yang belum
menyebar, kelangsungan hidupnya bertahan lebih dari 5 tahun telah mencapai lebih
dari 80%
L. PENCEGAHAN
1.
Ciptakan lingkungan hidup dan lingkungan kerja yang
sehat, serta
usahakan agar pergantian udara (sirkulasi
udara) lancar.
2.
Hindari polusi udara, seperti kontak dengan gas hasil
zat-
zat kimia, asap
industry, asap kayu, asap rokok, asap
minyak tanah
dan polusi lain yang dapat mengaktifkan virus Epstein bar.
3.
Hindari mengonsumsi makanan yang diawetkan, makanan
yang panas,
atau makanan yang merangsang selaput lendir.
BAB
II
ASPEK
KEPERAWATAN
A. KONSEP
ASUHAN KEPERAWATAN
1.
Pengkajian
a. Faktor
herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat
kanker payudara
b. Lingkungan
yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu.
c. Kebiasaan
memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan makanan yang
terlalu panas serta makanan yang diawetkan ( daging dan ikan).
d. Golongan
sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan lingkungan dan
kebiasaan hidup.
e. Tanda
dan gejala :
Aktivitas
Kelemahan atau keletihan. Perubahan
pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yangmempengaruhi tidur seperti nyeri,
ansietas.
Sirkulasi
Akibat metastase tumor terdapat
palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah, epistaksis/perdarahan hidung.
Integritas
ego
Faktor stres, masalah tentang
perubahan penampilan, menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan
kontrol, depresi, menarik diri, marah.
Eliminasi
Perubahan pola defekasi konstipasi
atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising usus, distensi abdomen.
Makanan/cairan
Kebiasaan diit buruk ( rendah serat,
aditif, bahanpengawet), anoreksia, mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi
makanan,perubahan berat badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.
Neurosensori
Sakit kepala, tinitus, tuli,
diplopia, juling, eksoftalmus
Nyeri/kenyamanan
Rasa tidak nyaman di telinga sampai
rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di daerah leher karena fibrosis
jaringan akibat penyinaran
Pernapasan
Merokok
(tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok), pemajanan
Keamanan
Pemajanan
pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama / berlebihan, demam,
ruam kulit.
Seksualitas
Masalah
seksual misalnya dampak hubungan, perubahan pada tingkat kepuasan.
Interaksi
sosial
Ketidakadekuatan/kelemahan
sistem pendukung
2.
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
a.
Nyeri
kronis berhubungan dengan metastase kanker.
b.
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d mual muntah
c.
Risiko
infeksi b/d tindakan infasive, imunitas tubuh menurun
d. Kurang
pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya b/d misintepretasi informasi,
ketidak familiernya sumber informasi.
e.
Harga
diri Rendah b/d perubahan perkembangan penyakit, pengobatan penyakit.
3.
Intervensi
a.
Nyeri
kronis berhubungan dengan metastase kanker.
No
|
Diagnosa
|
Tujuan
|
Intervensi
|
a
|
Nyeri kronis
|
Setelah dilakukan askep selama 3 x 24 jam tingkat
kenyamanan klien meningkat, dan dibuktikan dengan level nyeri: klien
dapat melaporkan nyeri pada petugas, frekuensi nyeri, ekspresi wajah, dan
menyatakan kenyamanan fisik dan psikologis, TD 120/80 mmHg, N: 60-100 x/mnt,
RR: 16-20x/mnt
Control
nyeri dibuktikan
dengan klien melaporkan gejala nyeri dan control nyeri.Skala nyeri 0-3 (
skala nyeri 0-10 )
|
Manajemen
nyeri :
1.
Lakukan pegkajian nyeri secara komprehensif termasuk skala nyeri, lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
2. Observasi
reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
3.
Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri klien
sebelumnya.
4.
Kontrol faktor lingkungan yang mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan.
5.
Kurangi faktor presipitasi nyeri.
6. Pilih dan
lakukan penanganan nyeri (farmakologis/non farmakologis)..
7.
Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk mengetasi
nyeri..
8.
Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
9.
Evaluasi tindakan pengurang nyeri/kontrol nyeri.
10.Kolaborasi
dengan dokter bila ada komplain tentang pemberian analgetik tidak berhasil.
11.Monitor
penerimaan klien tentang manajemen nyeri.
Administrasi
analgetik :.
1. Cek
program pemberian analogetik; jenis, dosis, dan frekuensi.
2. Cek
riwayat alergi..
3.
Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal.
4. Monitor TTV
sebelum dan sesudah pemberian analgetik.
5.
Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri muncul.
6.
Evaluasi efektifitas analgetik, tanda dan gejala efek samping.
|
b.
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d mual muntah
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh
|
Setelah dilakukan askep selama 3×24 jam klien
menunjukan status nutrisi adekuat dibuktikan dengan BB
stabil tidak terjadi mal nutrisi,IMT normal tingkat energi adekuat, masukan
nutrisi adekuat tidak mual-muntah
|
Manajemen
Nutrisi
1. kaji
pola makan klien
2. Kaji
adanya alergi makanan.
3. Kaji makanan
yang disukai oleh klien.
4. Kolaborasi dg
ahli gizi untuk penyediaan nutrisi terpilih sesuai dengan kebutuhan klien.
5.
Anjurkan klien untuk meningkatkan asupan nutrisinya.
6. Yakinkan diet
yang dikonsumsi mengandung cukup serat untuk mencegah konstipasi.
7.
Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi dan pentingnya bagi tubuh klien.
Monitor
Nutrisi
1. Monitor BB
setiap hari jika memungkinkan.
2.
Monitor respon klien terhadap situasi yang mengharuskan klien makan.
3.
Monitor lingkungan selama makan.
4. Jadwalkan
pengobatan dan tindakan tidak bersamaan dengan waktu klien makan.
5.
Monitor adanya mual muntah.
6. Monitor adanya
gangguan dalam proses mastikasi/input makanan misalnya perdarahan, bengkak
dsb.
7.
Monitor intake nutrisi dan kalori.
|
c.
Risiko
infeksi b/d tindakan infasive, imunitas tubuh menurun
Risiko
infeksi
|
Setelah dilakukan askep selama 3 x 24 jam tidak
terdapat faktor risiko infeksi pada klien dibuktikan dengan
status imune klien adekuat: bebas dari gejala infeksi, angka lekosit normal
(4-11.000),
|
Konrol
infeksi :
1.
Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain.
2.
Pertahankan teknik isolasi.
3. Batasi
pengunjung bila perlu.
4. Intruksikan
kepada keluarga untuk mencuci tangan saat kontak dan sesudahnya.
5.
Gunakan sabun anti miroba untuk mencuci tangan.
6. Lakukan cuci
tangan sebelum dan sesudah tindakan keperawatan.
7. Gunakan baju
dan sarung tangan sebagai alat pelindung.
8. Pertahankan
lingkungan yang aseptik selama pemasangan alat.
9. Lakukan
perawatan luka dan dresing infus setiap hari.
10.Tingkatkan
intake nutrisi.
11.berikan
antibiotik sesuai program.
Proteksi
terhadap infeksi
1. Monitor tanda
dan gejala infeksi sistemik dan lokal.
2.
Monitor hitung granulosit dan WBC.
3.
Monitor kerentanan terhadap infeksi..
4.
Pertahankan teknik aseptik untuk setiap tindakan.
5. Pertahankan
teknik isolasi bila perlu.
6. Inspeksi kulit
dan mebran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase.
7.
Inspeksi kondisi luka, insisi bedah.
8. Ambil
kultur jika perlu
9. Dorong masukan
nutrisi dan cairan yang adekuat.
10.Dorong
istirahat yang cukup.
11.Monitor
perubahan tingkat energi.
12.Dorong
peningkatan mobilitas dan latihan.
13.Instruksikan
klien untuk minum antibiotik sesuai program.
14.Ajarkan
keluarga/klien tentang tanda dan gejala infeksi.
15.Laporkan
kecurigaan infeksi.
16.Laporkan
jika kultur positif.
|
d.
Kurang
pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya b/d misintepretasi informasi,
ketidak familiernya sumber informasi.
Kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatan nya
|
Setelah dilakukan askep selama 3×24 jam, pengetahuan
klien meningkat.
Knowledge : Illness Care dg kriteria :
1 Tahu Diitnya
2 Proses penyakit
3 Konservasi energi
4 Kontrol infeksi
5 Pengobatan
6 Aktivitas yang dianjurkan
7 Prosedur pengobatan
8 Regimen/aturan pengobatan
9 Sumber-sumber kesehatan
10.Manajemen penyakit
|
Teaching : Dissease Process
1. Kaji tingkat
pengetahuan klien dan keluarga tentang proses penyakit
2. Jelaskan
tentang patofisiologi penyakit, tanda dan gejala serta penyebab yang mungkin
3. Sediakan
informasi tentang kondisi klien
4. Siapkan
keluarga atau orang-orang yang berarti dengan informasi tentang perkembangan
klien
5. Sediakan
informasi tentang diagnosa klien
6. Diskusikan
perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa
yang akan datang dan atau kontrol proses penyakit
7. Diskusikan
tentang pilihan tentang terapi atau pengobatan
8. Jelaskan
alasan dilaksanakannya tindakan atau terapi
9. Dorong klien
untuk menggali pilihan-pilihan atau memperoleh alternatif pilihan
10. Gambarkan
komplikasi yang mungkin terjadi
11. Anjurkan
klien untuk mencegah efek samping dari penyakit
12. Gali
sumber-sumber atau dukungan yang ada
13. Anjurkan
klien untuk melaporkan tanda dan gejala yang muncul pada petugas kesehatan
14. kolaborasi dg tim yang lain.
|
e.
Harga
diri Rendah b/d perubahan perkembangan penyakit, pengobatan penyakit.
Harga diri rendah
|
Setelah dilakukan askep selama 3×24 jam klien
menerima keadaan dirinya
Dengan criteria :
Mengatakan
penerimaan diri & keterbatasan diri
Menjaga
postur yang terbuka
Menjaga
kontak mata
Komunikasi
terbuka
Menghormati
orang lain
Secara
seimbang dapat berpartisipasi dan mendengarkan dalam kelompok
Menerima
kritik yang konstruktif
Menggambarkan
keberhasilan dalam kelompok social
Menggambarkan
kebanggaan terhadap diri
|
PENINGKATAN HARGA DIRI
1.
Monitor pernyataan pasien tentang harga diri
2.
Anjurkan pasien utuk mengidentifikasi kekuatan
3. Anjurkan
kontak mata jika berkomunikasi dengan orang lain
4. Bantu
pasien mengidentifikasi respon positif dari orang lain.
5.
Berikan pengalaman yang meningkatkan otonomi pasien.
6. Fasilitasi
lingkungan dan aktivitas meningkatkan harga diri.
7.
Monitor frekuensi pasien mengucapkan negatif pada diri sendiri.
8. Yakinkan
pasien percaya diri dalam menyampaikan pendapatnya
9.
Anjurkan pasien untuk tidak mengkritik negatif terhadap dirinya
10.
Jangan mengejek / mengolok – olok pasien
11.
Sampaikan percaya diri terhadap kemampuan pasien mengatasi situasi
12. Bantu
pasien menetapkan tujuan yang realistik dalam mencapai peningkatan harga
diri.
13. Bantu
pasien menilai kembali persepsi negatif terhadap dirinya.
14.
Anjurkan pasien untuk meningkatkan tanggung jawab terhadap dirinya.
15. Gali
alasan pasien mengkritik diri sendiri
16.
Anjurkan pasien mengevaluasi perilakunya.
17. Berikan
reward kepada pasien terhadap perkembangan dalam pencapaian tujuan
18.
Monitor tingkat harga diri
|
B. ASPEK
LEGAL ETIS
1.
ASPEK LEGAL
Dalam
kasus ini, peran perawat sebagai advokat harus bertanggung jawab
membantu klien dan keluarga dalam hal inform concern atas tindakan keperawatan
yang dilakukan. Selain itu juga harus mempertahankan dan melindungi hak-hak
klien serta memastikan kebutuhan klien terpenuhi.
2.
ETIK KEPERAWATAN
a.
Otonomi
Prinsip bahwa individu
mempunyai hak menentuka diri sendiri, memperoleh kebebasan dan kemandirian
Perawat yg mengikuti
prinsip ini akan menghargai keluhan gejala subjektif (misal : nyeri), dan
meminta persetujuan tindakan sebelum prosedur dilaksanakan
b.
Nonmaleficience
Prinsip menghindari
tindakan yg membahayakan. Bahaya
dpt berarti dgn sengaja, risiko atau tidak sengaja membahayakan.
Contoh : kecerobohan
perawat dalam memberikan pengobatan menyebabkan klien mengalami cedera
c.
Beneficience
Prinsip bahwa seseorang
harus melakukan kebaikan. Perawat melakukan kebaikan dengan mengimplementasikan
tindakan yg menguntungkan/bermanfaat bagi klien.
Dapat terjadi dilema bila
klien menolak tindakan tersebut, atau ketika petugas kesehatan berperan sebagai
peneliti
d.
Justice
Prinsip bahwa individu
memiliki hak diperlakukan setara.
Contoh : ketika perawat
bertugas sendirian sementara ada beberapa pasien di sana maka perawat perlu
mempertimbangkan situasi dan kemudian melakukan tindakan secara adil.
e.
Fidelity
Prinsip bahwa individu
wajib setia terhadap komitmen atau kesepakatan dan tgg jawab yg dimiliki.
Kesetiaan jg melibatkan aspek
kerahasiaan / privasi dan komitmen adanya kesesuaian antara informasi dgn
fakta.
f. Veracity
Mengacu pada mengatakan
kebenaran. Bok (1992) mengatakan bahwa bohong pada orang yg sakit atau
menjelang ajal jarang dibenarkan.
Kehilangan kepercayaan thd
perawat dan kecemasan karena tdk mengetahui kebenaran biasanya lebih merugikan.
C. PENDIDIKAN
KESEHATAN
SATUAN
ACARA PENYULUHAN
(SAP)
Tema : Ca Nasofaring
Sub Tema : Penatalaksanaan Ca
Nasofaring
Waktu : 30 menit
Sasaran : Pasien X
Tempat :
Ruang Bugenville
Penyuluh : Perawat R
I.
Tujuan Instruksional
Umum (TIU)
Setelah
dilakukan penyuluhan kesehatan selama 30 menit diharapkan pasien dapat memahami tentang penatalaksanaan ca
nasofaring.
II.
Tujuan Instruksional
Khusus (TIK)
a. Klien
dapat menyebutkan pengertian Ca
Nasofaring
b. Klien
dapat mengidentifikasi penyebab dan factor risiko Ca Nasofaring
c. Kien
dapat menyebutkan penatalaksanaan Ca Nasofaring
d. Klien
dapat mengidentifikasi komplikasi dan prognose Ca Nasofaring
III.
Pokok Materi
a. Pengertian
Ca Nasofaring
b. Penyebab
dan factor risiko Ca Nasofaring
c. Penatalaksanaan
Ca Nasofaring
d. Komplikasi
dan prognose Ca Nasofaring
IV.
Strategi Pelaksanaan:
A. Metode
:
1. Ceramah
2. Tanya
jawab
V.
Kegiatan Penyuluhan
Kegiatan
|
Penyuluhan
|
Audiance
|
Waktu
|
Pendahuluan dan Apresepsi
|
Salam Pembuka
Menyampaikan
Tujuan Penyuluhan
Apresiasi
|
Menjawab Salam
Menyimak
Menjawab Pertanyaan
|
5 menit
|
Isi
|
Pengertian Ca Nasofaring
Penyebab dan factor risiko Ca
Nasofaring
Penatalaksanaan Ca Nasofaring
Komplikasi dan prognose Ca Nasofaring
Memberi kesempatan kepada peserta
untuk bertanya
Menjawab pertanyaan
Evaluasi
|
Mendengarkan penuh perhataian
Menanyakan hal-hal yang belum jelas
Mendiskusikan permasalahan
Memperhatikan jawaban dari penceramah
|
20 menit
|
Penutup
|
Menyimpulkan
Salam penutup
|
Mendengarkan
Menjawab salam
|
5 menit
|
VI.
Media :
Leaflet
VII.
Evaluasi
A. Formatif
Pasien
mengetahui penatalaksanaan Ca Nasofaring
B. Sumatif
1. Klien
dapat menyebutkan pengertian Ca
Nasofaring
2. Klien
dapat mengidentifikasi penyebab dan factor risiko Ca Nasofaring
3. Kien
dapat menyebutkan penatalaksanaan Ca Nasofaring
4. Klien
dapat mengidentifikasi komplikasi dan prognose Ca Nasofaring
Mengetahui, Yogyakarta,2
Desember 2012
Pembimbing Mahasiswa
(Veronika
Diah Pujiastuti.,S.Kep.,Ns) (
Valentina Rina Hernani )
D. JURNAL
Sebuah kasus
yang jarang dari kanker payudara metastasis
ke nasofaring
dan sinus paranasal
Penulis:
Davey S; Baer S
Penulis Alamat:
Departemen THT, Kepala & Leher Bedah, Royal Sussex County Hospital (Brighton dan Sussex University Hospitals NHS Trust), Eastern Road, Brighton BN2 5BE, Inggris Raya.
Abstrak:
Davey S; Baer S
Penulis Alamat:
Departemen THT, Kepala & Leher Bedah, Royal Sussex County Hospital (Brighton dan Sussex University Hospitals NHS Trust), Eastern Road, Brighton BN2 5BE, Inggris Raya.
Abstrak:
Pendahuluan:
Penyebaran metastatik dari tumor non-kepala dan leher ke wilayah sinonasal
yang sangat langka. Kami menyajikan sebuah kasus metastasis kanker payudara ke
ethmoid, nasofaring dan sinus sphenoid. Sampai saat ini hanya ada dua kasus
serupa dalam literatur. Kami membahas diagnosis dan manajemen dari kasus
tersebut dan mengusulkan bagaimana mereka dapat dipentaskan.
Presentasi Kasus:
Seorang wanita 75 tahun dengan riwayat medis masa lalu karsinoma payudara,
disajikan secara klinis sebagai memiliki keganasan sinonasal primer. Magnetic
Resonance Imaging (MRI) menunjukkan lesi melibatkan spenoid dan sinus ethmoid,
nasendoscopy mengungkapkan massa di nasofaring. Biopsi dari klinik menunjuk
papilloma sinonasal terbalik, namun hal ini tidak sesuai dengan MRI atau
gambaran klinis. Ulangi biopsi di bawah bimbingan gambar mengungkapkan lesi
menjadi metastasis kanker payudara.
Diskusi:
Sebuah tinjauan literatur yang luas mengungkapkan beberapa kasus penyebaran
ke wilayah sinonasal dari keganasan primer jauh. Ketika kasus tersebut yang
muncul, sebagian besar dari tumor ginjal. Kanker payudara metastasis biasanya
hadir dengan tanda-tanda dan gejala dari penyakit yang disebarkan, namun kasus
kami merupakan metastasis terisolasi yang benar. Kami membahas pengelolaan
kasus kami dan menyarankan penggunaan sistem tumor-node-metastasis (TNM), guna
mengadakan kejadian terisolasi langka.
Kesimpulan:
Jika ditemukan lebih awal, manifestasi langka dapat dikelola oleh reseksi
bedah primer. Metastasis ke wilayah tersebut mungkin lebih umum daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Sebuah indeks kecurigaan yang tinggi harus digunakan,
terutama di mana ada riwayat medis masa lalu keganasan.
Database: MEDLINE dengan Full Text
0 komentar :
Posting Komentar