BELL’S PALSY
I.
KONSEP MEDIS
A. PENGERTIAN
Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan
fasialis tipe lower motor neuron akibat paralisis nervus fasial perifer yang
terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem
saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya.
Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy,
ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari Skotlandia. Bell’s palsy sering
terjadi setelah infeksi virus atau setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada
wanita hamil dan penderita diabetes serta penderita hipertensi. Bukti-bukti
dewasa ini menunjukkan bahwa Herpes simplex tipe 1 berperan pada kebanyakan
kasus. Berdasarkan temuan ini, paralisis fasial idiopatik sebagai nama lain
dari Bell’s palsy tidak tepat lagi dan mungkin lebih baik menggantinya dengan
istilah paralisis fasial herpes simpleks atau paralisis fasial herpetik.
Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy
adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat
ganglion genikulatum. Salah satu gejala Bell’s palsy adalah kelopak mata sulit
menutup dan saat penderita berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar
ke atas dan matanya tetap kelihatan. Gejala ini disebut juga fenomena Bell.
Pada observasi dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat
lebih lambat jika dibandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat
(lagoftalmos).
B. ANATOMI
FISIOLOGI
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam
serabut, yaitu :
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator
palpebrae (n.II), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah.
2. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus
salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring,
palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta
sublingual dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa
raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus
trigeminus.
Nervus VII
terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot mimik wajah.
Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang mengantarkan
rasa kecap dari dua pertiga bagian lidah dan sensasi kulit dari dinding
anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut kecap pertama-tama
melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke
korda timpani dimana ia membawa sensasi kecap melalui nervus fasialis ke
nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginnervasi kelenjar
lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual
serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani.
Nukleus (inti) motorik
nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan serabut nervus
fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventrolateral
nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus
kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada lantai
ventrikel IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena bersama-sama oleh lesi
vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke meatus akustikus
internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan dan ke
bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu)
terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan
genu. Nervus fasialis terus berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah
ganglion genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina,
yaitu nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal
memberi persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu n.
fasialis keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus kemudian melintasi
kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani otot-otot wajah,
m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.
Lokasi cedera nervus
fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera
tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Jika lesinya berlokasi di
bagian proksimal ganglion genikulatum, maka paralisis motorik akan disertai
gangguan fungsi pengecapan dan gangguan fungsi otonom. Lesi yang terletak
antara ganglion genikulatum dan pangkal korda timpani akan mengakibatkan hal
serupa tetapi tidak mengakibatkan gangguan lakrimasi. Jika lesinya berlokasi di
foramen stilomastoideus maka yang terjadi hanya paralisis fasial (wajah).
C. ETIOLOGI
Diperkirakan, penyebab
Bell’s palsy adalah virus. Akan tetapi, baru beberapa tahun terakhir ini dapat
dibuktikan etiologi ini secara logis karena pada umumnya kasus Bell’s palsy
sekian lama dianggap idiopatik. Telah diidentifikasi gen Herpes Simpleks Virus
(HSV) dalam ganglion genikulatum penderita Bell’s palsy. Dulu, masuk angin
(misalnya hawa dingin, AC, atau menyetir mobil dengan jendela terbuka) dianggap
sebagai satu-satunya pemicu Bell’s palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini
HSV sebagai penyebab Bell’s palsy. Tahun 1972, McCormick pertama kali
mengusulkan HSV sebagai penyebab paralisis fasial idiopatik.
Dengan analaogi bahwa
HSV ditemukan pada keadaan masuk angin (panas dalam/cold sore), dan beliau
memberikan hipotesis bahwa HSV bisa tetap laten dalam ganglion genikulatum.
Sejak saat itu, penelitian biopsi memperlihatkan adanya HSV dalam ganglion
genikulatum pasien Bell’s palsy. Murakami at.all melakukan tes PCR
(Polymerase-Chain Reaction) pada cairan endoneural N.VII penderita Bell’s palsy
berat yang menjalani pembedahan dan menemukan HSV dalam cairan endoneural.
Apabila HSV diinokulasi pada telinga dan lidah tikus, maka akan ditemukan
antigen virus dalam nervus fasialis dan ganglion genikulatum. Varicella Zooster
Virus (VZV) tidak ditemukan pada penderita Bell’s palsy tetapi ditemukan pada
penderita Ramsay Hunt syndrome.
D. PATOFISIOLOGI
Para ahli menyebutkan
bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di
daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy hampir
selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu
atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau
kambuh. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan
terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan
diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada
saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang
temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang
menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis
yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat
menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus
fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear.
Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di
jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah
somatotropik wajah di korteks motorik primer. Karena adanya suatu proses yang
dikenal awam sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris “cold”. Paparan
udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang
terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu
nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan
menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bias terletak di pons, di
sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen
stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang
terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis
medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan
muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu,
paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif
ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah).
Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah
reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang
saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke
saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum,
nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis
LMN.
Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot
wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak
dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang
berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan
dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak
bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.
E. PATHWAY
F.
MANIFESTASI KLINIS
Pada awalnya, penderita
merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur, menggosok gigi atau
berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya kelainan di daerah
mulut maka penderita biasanya memperhatikannya lebih cermat dengan menggunakan
cermin.
Mulut tampak moncong
terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos),
waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola mata tampak berputar
ke atas.(tanda Bell). Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila
berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh. Selanjutnya
gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi.
1.
Lesi di luar foramen stilomastoideusMulut
tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di antar pipi dan
gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. Lipatan kulit
dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi
maka aur mata akan keluar terus menerus.
2.
Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda
timpani)
Gejala dan tanda klinik
seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3
bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya
pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus
menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani
bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
3.
Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi
(melibatkan muskulus stapedius)
Gejala dan tanda klinik
seperti pada (1), (2), ditambah dengan adanya hiperakusis.
4.
Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi
(melibatkan ganglion genikulatum) Gejala dan tanda klinik seperti (1), (2), (3)
disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini
dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah
paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion
genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius
eksterna dan pina.
5.
Lesi di daerah meatus akustikus interna
Gejala dan tanda klinik seperti (1), (2), (3), (4), ditambah dengan tuli sebagi
akibat dari terlibatnya nervus akustikus.
6.
Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis
dari pons.Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan
tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga
nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.
Sindrom air mata buaya
(crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa Bell’s palsy, beberapa bulan
pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air mata bercucuran dari mata yang
terkena pada saat penderita makan. Nervus fasilais menginervasi glandula
lakrimalis dan glandula salivatorius submandibularis. Diperkirakan terjadi
regenerasi saraf salivatorius tetapi dalam perkembangannya terjadi ‘salah
jurusan’ menuju ke glandula lakrimalis.
G. PEMERIKSAAN
PENUNJANG
Bell’
s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu
dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.
1. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos
Dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).
Dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).
2.
Pemeriksaan MRI
Dilakukan
pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang temporal, otak, glandula
parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat
memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.
3.
Pemeriksaan
neurofisiologi
Bells
palsy sudah dikenal sejak tahun 1970- sebagai prediktor kesembuhan, bahkan
dahulu sebagai acuan pada penentuan kandidat tindakan dekompresi
intrakanikular.
4. Pemeriksaan elektromiografi (EMG)
Mempunyai
nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan elektro-neurografi (ENG).
Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut setelah hari ke-15 mempunyai
positive-predictive-value(PPV) 100% dan negative-predictive-value(NPV)
96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa penurunan amplitudo
Compound Motor Action Potential(CMAP), pemanjangan latensi saraf fasialis.
5.
Pemeriksaan blink
reflexdidapatkan
Pemanjangan
gelombang R1 ipsilat-eral. Pemeriksaan blink reflex ini
sangat bermanfaat karena 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu
kelima, meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah. Abnor-malitas
gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6% kasus.
H. EPIDEMIOLOGI
Bell’s palsy menempati
urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di dunia, insiden
tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah
ditemikan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap
tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan.
Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita
diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s
palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi,
wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki
pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun
lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan
2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi
daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat .
I.
PENATALAKSANAAN
Terapi Non-farmakologis
1. Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda
asing. Proteksinya dapat dilakukan dengan peng-gunaan air mata buatan
(artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan
kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak
mata atas dan bawah).
2. Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus
dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak
terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi melalui pembedahan saraf fasialis,
namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari onset.
3. Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam
empat bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis
fasialis. Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular,
masase, meditasi-relaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat
kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori
inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.
a) Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah
sedang-berat saat istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang
lumpuh. Strategi yang digunakan berupa masase superfisial disertai
latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set
per hari dan menghindari gerakan wajah berlebih.
b) kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri
wajah ringan-sedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan
tidak terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan
lunak otot wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuskular di depan kaca
(feedbackvisual) dengan melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat,
terkontrol, dan bertahap untuk membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan
ini dilakukan sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari.
c) kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan
simetri wajah ringan-sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit
gerakan, dan terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi
jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di
depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara simultan mengontrol
gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi.
d) strategi meditasi-relaksasi. Pada pasien dengan kekencangan
seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang
digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif,
reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan fokus pada strategi
meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar vi-sual atau audio difokuskan
untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis. Latihan ini cukup
dilakukan 1-2 kali per hari.
Terapi
Farmakologis
Inflamasi
dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam
patogenesis Bell’ s palsy.
1. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari
onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan. Penggunaan
steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada
saraf di kanalis fasialis yang sempit. Dosis pemberian prednison (maksimal
40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg/kg/hari peroral
selama enam hari diikuti empat hari tappering off. Efek toksik dan hal yang
perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu)
berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis,
supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.
2. Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80
mg/kg/hari melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari.
Sementara untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2 000-4 000 mg/hari yang
dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan dosis pemberian
valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1
000-3 000 mg/hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari. Efek samping
jarang ditemukan pada penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat
ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.
(Artikel. Lowis, Handoko & Maula N Gaharu. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis and Management in Primary Care. IDI).
(Artikel. Lowis, Handoko & Maula N Gaharu. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis and Management in Primary Care. IDI).
J.
KOMPLIKASI
Kira-ki ra 30% pasien
Bell’s palsy yang sembuh dengan gejala sisa seperti fungsi motorik dan sensorik
yang tidak sempurna, serta kelemahan saraf parasimpatik.
Komplikasi yang paling
banyak terjadi yaitu disgeusia atau ageusia, spasme nervus fasialis yang kronik
dan kelemahan saraf parasimpatik yang menyebabkan kelenjar lakrimalis tidak
berfungsi dengan baik sehingga terjadi infeksi pada kornea.
K. PROGNOSIS
Walaupun tanpa diberikan
terapi, pasien Bell’s palsy cenderung memiliki prognosis yang baik.Dalam sebuah
penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy, 85% memperlihatkan tanda-tanda
perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi
pada 3-6 bulan kemudian.
Sepertiga dari penderita
Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa. 1/3 lainnya
dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan baik.
Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata.4 Penderita Bell’s
palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.. Faktor resiko yang
memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:
1.
Usia di atas 60 tahun
2.
Paralisis komplit
3.
Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran
saliva pada sisi yang lumpuh,
4.
Nyeri pada bagian belakang telinga dan
5.
Berkurangnya air mata.
Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis
perifer tidak boleh dilupakan untuk mengadakan pemeriksaan neurologis dengan
teliti untuk mencari gejala neurologis lain.
Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik:
sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa
ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang
40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang
berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-15 persen antara
sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4
bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis,
crocodile tears dan kadang spasme hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh
secara parsial dibanding penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering
kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 % kasus Bells palsy yang mengenai kedua
sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita
yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.
L. PENCEGAHAN
II. KONSEP
DASAR KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengkajian keperawatan
klien dengan Belll’s palsy meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan diagnostik dan pengkajian psikososial.
1.
Anamnesis
Keluhan utama yang
sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan dalah berhubungan
dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.
2.
Riwayat penyakit saat ini
Faktor riwayat penyakit
sangat penting diketahui karena untuk menunjang keluhan utama klien. Disini
harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai
serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien Bell;s palsy
biasanya didapatkan keluhan kelumpuhan otot wajah pada satu sisi.
Kelumpuhan fasialis ini
melibatkan semua otot wajah sesisi. Bila dahi dikerutkan, lipatan kulit dahinya
hanya tampak pada sisi yang sehat saja. Bila klien disuruh memejamkan kedua
matanya, maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak mata tidak dapat menutupi
bola mata dan berputarnya bola mata keatas dapat disaksikan. Fenomena tersebut
dikenal sebagai tanda bell.
3.
Riwayat penyakti dahulu
Pengkajian penyakit yang
pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi
predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami penyakit
iskemia vaskuler, otitis media, tumor intrakranial, truma kapitis, penyakit
virus (herpes simplek, herpes zoster), penyakit autoimun, atau kombinasi semua
faktor ini. Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering digunakan klien,
pengkajian kemana klien sudah meminta pertolongan dapat mendukung pengkajian
dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih
jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
4.
Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis
klien Bell’s palsy meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat untuk
memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kogniti dan perilaku
klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk
menilai respons emosi klien terhadap kelumpuhan otot wajah sesisi dan perubahan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga atau masyarakat. Apakah ada dampak
yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal dan pandangan terhadap
dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping
yang secara sadar biasa digunakan klien selama masa stress meliputi kemampuan
klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan
perubahan perilaku akibat stres.
Karena klien harus
menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi
klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak
sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan
dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu.
Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu
keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit neurologis dalam hubungannya dengan
peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada
gangguan neurologis didalam sistem dukungan individu.
B. Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah
pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung
data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem
(B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah
dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Pada klien Bell’s palsy
biasanya didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal.
1. B1 (breathing)
Bila tidak ada penyakit lain yang
menyertai pemeriksaan inspeksi didapatkan klien tidak batuk, tidak sesak napas,
tidak ada penggunaan otot bantu napas dan frekuensi pernapasan dalam batas
normal. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Perkusi
didapatkan resonan pada seluruh lapangan paru. Auskultasi tidak didengar bunyi
napas tambahan.
2. B2 (Blood)
Bila tidak ada penyakit lain yang
menyertai pemeriksaan nadi dengan frekuensi dan irama yang normal. TD dalam
batas normal dan tidak terdengar bunyi jantung tambahan.
3. B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan
pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem
lainnya.
a.
Tingkat kesadaran
Pada Bell’s palsy biasanya kesadaran klien
compos mentis.
b.
Fungsi serebri
Status mental : observasi penampilan klien
dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien, observasi ekspresi wajah dan
aktivitas motorik yang pada klien Bell’s palsy biasanya statul mental klien
mengalami perubahan.
c.
Pemeriksaan saraf kranial
1)
Saraf I :biasanya
pada klien bell’s palsy tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada
kelainan.
2)
Saraf II :tes
ketajaman penglihatan pada kondisi normal
3)
Saraf III, IV, VI :penurunan gerakan
kelopak mata pada sisi yang sakit (lagoftalmos).
4)
Saraf V :kelumpuhan
seluruh otot wajah sesisi, lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan mendatar,
adanya gerakan sinkinetik.
5)
Saraf VII :berkurangnya
ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema nervus fasialis ditingkat foramen
stilomastoideus meluas sampai bagian nervus fasialis, dimana khorda timpani
menggabungkan diri padanya.
6)
Saraf VIII :tidak
ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
7)
Saraf IX & X : paralisis otot
orofaring, kesukaran berbicara, menguyah dan menelan. Kemampuan menelan kurang
baik, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
8)
Saraf XI :
tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Kemampuan
mobilisasi leher baik.
9)
Saraf XII :
lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi.
Indra pengecapan mengalami kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi
kelumpuhan kurang tajam.
d.
Sistem motorik
Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis
lain, kekuatan otot normal, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada Bell’s
palsy tidak ada kelainan.
e.
Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada
tendon, ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons normal.
f.
Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang dan
distonia. Pada beberapa keadaan sering ditemukan Tic fasialis.
g.
Sistem sensorik
Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri
dan suhu tidak ada kelainan.
4. B4 (Blader)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan
biasanya didapatkan berkurangnya volume haluaran urine, hal ini berhubungan
dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
5. B5 (bowel)
Mulai sampai muntah dihubungkan dengan
peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien bell’s palsy
menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan
proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.
6. B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan
tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan
kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.
C.
Diagnosa keperawatan
1.
Gangguan
body image berhubungan dengan:
Biofisika (penyakit
kronis), kognitif/persepsi (nyeri kronis), kultural/spiritual, penyakit, krisis
situasional, trauma/injury, pengobatan (pembedahan, kemoterapi, radiasi)
2.
Kecemasan
berhubungan dengan Faktor keturunan, Krisis situasional, Stress, perubahan
status kesehatan, ancaman kematian, perubahan konsep diri, kurang pengetahuan
dan hospitalisasi
3.
Kurang Pengetahuan Berhubungan dengan : keterbatasan kognitif, interpretasi terhadap
informasi yang salah, kurangnya keinginan untuk mencari informasi, tidak
mengetahui sumber-sumber informasi.
D. INTERVENSI
1. Gangguan
Body Image berhubungan dengan : Biofisika (penyakit kronis), kognitif/persepsi (nyeri kronis), kultural/spiritual,
penyakit, krisis situasional, trauma/injury, pengobatan (pembedahan,
kemoterapi, radiasi)
Diagnosa
Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
|
Rencana
keperawatan
|
|
Tujuan
dan Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
|
Gangguan body image berhubungan
dengan:
Biofisika (penyakit kronis), kognitif/persepsi (nyeri
kronis), kultural/spiritual, penyakit, krisis situasional, trauma/injury,
pengobatan (pembedahan, kemoterapi, radiasi)
DS:
-
Depersonalisasi bagian tubuh
-
Perasaan negatif tentang tubuh
-
Secara verbal
menyatakan perubahan gaya hidup
DO :
-
Perubahan aktual
struktur dan fungsi tubuh
-
Kehilangan bagian tubuh
-
Bagian tubuh tidak berfungsi
|
NOC:
v Body image
v Self esteem
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. gangguan body
image
pasien teratasi dengan
kriteria hasil:
v Body image
positif
v Mampu
mengidentifikasi kekuatan personal
v Mendiskripsikan secara faktual perubahan fungsi tubuh
v Mempertahankan interaksi sosial
|
NIC :
Body image enhancement
-
Kaji secara
verbal dan nonverbal respon klien terhadap tubuhnya
-
Monitor frekuensi
mengkritik dirinya
-
Jelaskan tentang
pengobatan, perawatan, kemajuan dan prognosis penyakit
-
Dorong klien
mengungkapkan perasaannya
-
Identifikasi arti
pengurangan melalui pemakaian alat bantu
-
Fasilitasi kontak
dengan individu lain dalam kelompok kecil
|
2.
Kecemasan
berhubungan dengan Faktor keturunan, Krisis situasional, Stress, perubahan
status kesehatan, ancaman kematian, perubahan konsep diri, kurang pengetahuan
dan hospitalisasi
Diagnosa
Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
|
Rencana
keperawatan
|
|
Tujuan
dan Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
|
Kecemasan berhubungan dengan
Faktor keturunan, Krisis situasional, Stress, perubahan
status kesehatan, ancaman kematian, perubahan konsep diri, kurang pengetahuan
dan hospitalisasi
DO/DS:
-
Insomnia
-
Kontak mata
kurang
-
Kurang istirahat
-
Berfokus pada
diri sendiri
-
Iritabilitas
-
Takut
-
Nyeri perut
-
Penurunan TD dan
denyut nadi
-
Diare, mual,
kelelahan
-
Gangguan tidur
-
Gemetar
-
Anoreksia, mulut
kering
-
Peningkatan TD,
denyut nadi, RR
-
Kesulitan
bernafas
-
Bingung
-
Bloking dalam
pembicaraan
-
Sulit
berkonsentrasi
|
NOC
:
-
Kontrol kecemasan
-
Koping
Setelah dilakukan asuhan selama ……………klien
kecemasan teratasi dgn kriteria hasil:
v Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala
cemas
v Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik
untuk mengontol cemas
v Vital sign
dalam batas normal
v Postur tubuh,
ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas menunjukkan berkurangnya
kecemasan
|
NIC :
Anxiety Reduction
(penurunan kecemasan)
·
Gunakan
pendekatan yang menenangkan
·
Nyatakan dengan
jelas harapan terhadap pelaku pasien
·
Jelaskan semua
prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
·
Temani pasien
untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
·
Berikan informasi
faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis
·
Libatkan keluarga
untuk mendampingi klien
·
Instruksikan pada
pasien untuk menggunakan tehnik relaksasi
·
Dengarkan dengan
penuh perhatian
·
Identifikasi
tingkat kecemasan
·
Bantu pasien mengenal
situasi yang menimbulkan kecemasan
·
Dorong pasien
untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi
·
Kelola pemberian
obat anti cemas:........
|
3. Kurang
Pengetahuan Berhubungan dengan :
keterbatasan kognitif, interpretasi terhadap informasi yang salah, kurangnya
keinginan untuk mencari informasi, tidak mengetahui sumber-sumber informasi.
Diagnosa
Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
|
Rencana
keperawatan
|
|
Tujuan
dan Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
|
Kurang Pengetahuan
Berhubungan
dengan : keterbatasan kognitif, interpretasi terhadap informasi yang salah,
kurangnya keinginan untuk mencari informasi, tidak mengetahui sumber-sumber
informasi.
DS: Menyatakan secara verbal adanya masalah
DO: ketidakakuratan mengikuti instruksi, perilaku tidak
sesuai
|
NOC:
v Kowlwdge :
disease process
v Kowledge :
health Behavior
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ….
pasien menunjukkan pengetahuan tentang proses penyakit dengan kriteria hasil:
v Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang
penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan
v Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang
dijelaskan secara benar
v Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang
dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya
|
NIC :
·
Kaji tingkat
pengetahuan pasien dan keluarga
·
Jelaskan
patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi
dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
·
Gambarkan
tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat
·
Gambarkan proses
penyakit, dengan cara yang tepat
·
Identifikasi
kemungkinan penyebab, dengan cara yang tepat
·
Sediakan
informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat
·
Sediakan bagi
keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat
· Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
·
Dukung pasien
untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion dengan cara yang tepat
atau diindikasikan
·
Eksplorasi
kemungkinan sumber atau dukungan, dengan cara yang tepat
|
E.
PENDIDIKAN KESEHATAN
SATUAN
ACARA PENYULUHAN
(SAP)
Tema : Sistem Neurobehavior
Sub Tema :
Perawatan Penyakit Bell’s Palsy
Sasaran :
Bp. X
Tempat :
Rumah Sakit A
Hari/Tanggal : Jumat, 13 Mei 2013
Waktu : 30 Menit
A.
Tujuan Instruksional Umum
Setelah
mengikuti penyuluhan selama 30 menit, diharapkan Bp. H dapat menjelaskan
penyakit Bell’s Palsy.
B.
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah
mengikuti penyuluhan selama 30 menit, diharapkan Klien dapat:
1.
Menjelaskan pengertian penyakit Bell’s
Palsy dengan benar
2.
Menyebutkan faktor penyebab yang
dapat menimbulkan penyakit Bell’s Palsy
3.
Menyebutkan tanda/gejala dari
penyakit Bell’s Palsy
4.
Menjelaskan penatalaksanaan
penyakit Bell’s Palsy
5.
Menjelaskan patofisiologi
penyakit Bell’s Palsy
C.
Materi
1.
Pengertian penyakit Bell’s Palsy
2.
Faktor penyebab dari penyakit Bell’s
Palsy
3.
Tanda/gejala penyakit Bell’s
Palsy
4.
Penatalaksanaan penyakit Bell’s
Palsy
5.
Patofisiologi penyakit Bell’s
Palsy
D.
Metode
1.
Ceramah
2.
Tanya jawab
E.
Kegiatan Penyuluhan
No
|
Kegiatan
|
Penyuluh
|
Peserta
|
Waktu
|
1.
|
Pembukaan
|
·
Salam pembuka
·
Menyampaikan tujuan penyuluhan
|
·
Menjawab salam
·
Menyimak,
Mendengarkan, menjawab
pertanyaan
|
5 Menit
|
2.
|
Kerja/ isi
|
· Penjelasan pengertian,
penyebab, gejala, penatalaksanaan dan patofisiologi penyakit Myocarditis
· Memberi kesempatan peserta
untuk bertanya
· Menjawab pertanyaan
· Evaluasi
|
·
Mendengarkan dengan penuh perhatian
·
Menanyakan hal-hal yang belum jelas
·
Memperhatikan jawaban dari penceramah
·
Menjawab pertanyaan
|
15 menit
|
3.
|
Penutup
|
·
Menyimpulkan
·
Salam penutup
|
· Mendengarkan
· Menjawab salam
|
10 Menit
|
F.
Media
Leaflet: Tentang penyakit Bell’s Palsy
G.
Sumber/Referensi
a.
Doenges, E. Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Ed. 3.
EGC : Jakarta.
b.
Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
c.
FKUI. 1999. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1. FKUI :
Jakarta.
H.
Evaluasi
Formatif:
1.
Klien dapat menjelaskan
pengertian penyakit Bell’s Palsy.
2.
Klien mampu menjelaskan faktor
penyebab dari penyakit Bell’s Palsy.
3.
Klien dapat menjelaskan
tanda/gejala penyakit Bell’s Palsy.
4.
Klien mampu menjelaskan penatalaksanaan penyakit Bell’s
Palsy.
Sumatif:
Klien dapat
memahami penyakit penyakit Bell’s Palsy.
Yogyakarta, 13 Mei 2013
Pembimbing
Penyuluh
(-------------------------------) (------------------------------)
F. ASPEK LEGAL ETIS
1.
Otonomi ( Autonomy )
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu
berfikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap
kompeten dan memiliki kekuatan membuat keputusan sendiri
2. Berbuat Baik ( Benefience )
Benefience berarti hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan
memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan,
3. Keadilan ( Justice )
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk memberikan fungsi keperawatan
kepada pasien, dengan menjunjung prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai
ini direfleksikan dalam praktik profesional ketika perawat bekerja untuk
memberikan terapi yang benar sesuai hukum.
4. Tidak merugikan ( Nonmaleficience )
Prinsip ini berati tidak menimbulkan bahaya, cidera fisik dan
psikologis pada pasien.
5. Kejujuran ( Veracity )
Prinsip Veracity berati penuh dengan kebenaran. Nilai ini
diperlukan oleh pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada
setiap klien dan menyakinkan kebenaran pada setiap klien dan menyakinkan bahwa
klien sangat mengerti
6.
Menepati janji ( Fidelity )
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan
komitmennya terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati
janji serta menyimpan rahasia klien. Ketaatan, kesetiaan, adalah kewajiban seseorang
untuk mempertahankan komitmen yang dibuatnya.
7. Kerahasiaan ( konfidentiality )
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien
harus dijaga privasi klien.
8. Akuntabilitas ( Accountability )
Akuntabilitas merupakan standart yang pasti bahwa tindakan seorang
profesional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.
Peran Perawat Sebagai Advokat :
1.
Memberi Informasi
Menyediakan informasi sesuai yang dibutuhkan klien
2.
Memberi bantuan
a. Peran Aksi
Memberi keyakinan pada pasien bahwa mereka punya hak dan tanggung
jawab dalam menentukan keputusan/pilihan.
b. Peran Non Aksi
Menahan
diri untuk tidak mempengaruhi keputusan klien.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta
neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.2003.
2.
Bulechek. Gloria. M. 2008. Nursing Intervention Classification (NIC). St Louis : Mosby Elseveir.
3.
Heddman T. Meater. at al. 2012. Nanda International : Nursing Diagnostic : Definition and Classification 2012-2014. West
Sussex Willey Blauc Well.
4.
Moorhead. Sue. at al. 2008. Nursing Outcome Classification (NOC). St Louis : Mosby Elseveir.
5.
Muttaqin ,arif .2008.buku ajar asuhan keperawatan dengan gangguan system persarafan.salemba medika:jakarta.
0 komentar :
Posting Komentar