Read more: http://www.uzumaki-popey.com/2013/01/cara-membuat-blog-agar-tidak-bisa-di.html#ixzz2QmnmosON

Pages

Senin, 18 Februari 2013

askep perdarahan ante partum


Askep Perdarahan Ante Partum
A. Pengertian
Pendarahan antepartum adalah pendarahan yang terjadi setelah kehamilan 28 minggu. Pendarahan antepartum merupakan pendarahan dari traktus genitalis yang terjadi antara kehamilan minggu ke 28 awal partus.
B. Etiologi
Pendarahan antepartum dapat disebabkan oleh :
a. Bersumber dari kelainan plasenta
1. Plasenta previa
Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir ( osteum uteri internal ).
Plasenta previa diklasifikasikan menjadi 3 :
a. Plasenta previa totalis : seluruhnya ostium internus ditutupi plasenta.
b. Plasenta previa lateralis : hanya sebagian dari ostium tertutup oleh plasenta.
c. Plasenta previa marginalis : hanya pada pinggir ostium terdapat jaringan plasenta.
Plasenta previa dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain :
- Endometrium yang kurang baik
- Chorion leave yang peresisten
- Korpus luteum yang berreaksi lambat
2. Solusi plasenta
Solusi plasenta adalah suatu keadaan dimana plasenta yang letaknya normal terlepas dari perlekatannya sebelum janin lahir. Biasanya dihitung kehamilan 28 minggu.
Solusi plasenta dapat diklasifikasikan menjadi 3 berdasarkan tingkat gejala klinik antara lain :
a. Solusi plasenta ringan
• Tanpa rasa sakit
• Pendarahan kurang 500cc
• Plasenta lepas kurang dari 1/5 bagian
• Fibrinogen diatas 250 mg %
b. Solusi plasenta sedang
• Bagian janin masih teraba
• Perdarahan antara 500 – 1000 cc
• Plasenta lepas kurang dari 1/3 bagian
c. Solusi plasenta berat
• Abdomen nyeri-palpasi janin sukar
• Janin telah meninggal
• Plasenta lepas diatas 2/3 bagian
• Terjadi gangguan pembekuan darah
b. Tidak bersumber dari kelainan plasenta, biasanya tidak begtu berbahaya, misalnya kelainan serviks dan vagina ( erosion, polip, varises yang pecah ).
C. Patofisiologi
1. Plasenta previa
Seluruh plasenta biasanya terletak pada segmen atau uterus. Kadang-kadang bagian atau seluruh organ dapat melekat pada segmen bawah uterus, dimana hal ini dapat diketahui sebagai plasenta previa. Karena segmen bawah agak merentang selama kehamilan lanjut dan persalinan, dalam usaha mencapai dilatasi serviks dan kelahiran anak, pemisahan plasenta dari dinding usus sampai tingkat tertentu tidak dapat dihindarkan sehingga terjadi pendarahan.
2. Solusi plasenta
Perdarahan dapat terjadi pada pembuluh darah plasenta atau uterus yang membentuk hematom pada desisua, sehingga plasenta terdesak akhirnya terlepas. Apabila perdarahan sedikit, hematom yang kecil itu hanya akan mendesak jaringan plasenta, peredaran darah antara uterus dan plasenta belum terganggu dan tanda serta gejalanya pun tidak jelas.
Kejadiannya baru diketahui setelah plasenta lahir yang pada pemeriksaan didapatkan cekungan pada permukaan maternalnya dengan bekuan darah lama yang warnanya kehitam-hitaman.
Biasanya perdarahan akan berlangsung terus menerus karena otot uterus yang telah meregang oleh kehamilan itu tidak mempu untuk lebih berkontraksi menghentikan pendarahannya. Akibatnya, hematom retroplasenter akan bertambah besar, sehingga sebagian dan akhirnya seluruh plasenta terlepas dari dinding uterus.
D. Tanda dan Gejala
1. Plasenta previa
a ) Perdarahan terjadi tanpa rasa sakit pada trimester III
b ) Sering terjadi pada malam hari saat pembentukan S.B.R
c ) Perdarahan dapat terjadi sedikit atau banyak sehingga menimbulkan gejala
d ) Perdarahan berwarna merah segar
e ) Letak janin abnormal
2. Solusi plasenta
a ) Perdarahan disertai rasa sakit
b ) Jalan asfiksia ringan sampai kematian intrauterin
c ) Gejala kardiovaskuler ringan sampai berat
d ) Abdomen menjadi tegang
e ) Perdarahan berwarna kehitaman
f ) Sakit perut terus menerus

E. Komplikasi
1. Plasenta previa
a ) Prolaps tali pusat
b ) Prolaps plasenta
c ) Plasenta melekat sehingga harus dikeluarkan manual dan kalau perlu dibersihkan dengan kerokan
d ) Robekan-robekan jalan lahir
e ) Perdarahan post partum
f ) Infeksi karena perdarahan yang banyak
g ) Bayi prematuritas atau kelahiran mati
a. Langsung
- Perdarahan
- Infeksi
- Emboli dan obstetrik syok
b. Komplikasi tidak langsung
- Couvelair uterus kontraksi tak baik, menyebabkan pendarahan post partum
- Adanya hipo fibrinogenemia dengan perdarahan post partum
- Nekrosis korteks renalis, menyebabkan anuria dan uremia,
F. Penatalaksanaan
1. Plasenta previa
a. Tiap-tiap perdarahan triwulan ketiga yang lebih dari show ( perdarahan inisial harus dikirim ke rumah sakit tanpa melakukan suatu manipulasi apapun baik rectal apalagi vaginal)
b. Apabila ada penilaian yang baik, perdarahan sedikt janin masih hidup, belum inpartus. Kehamilan belum cukup 37 minggu atau berat badan janin di bawah 2500 gr. Kehamilan dapat ditunda dengan istirahat. Berikan obat-obatan spasmolitika, progestin atau progesterone observasi teliti.
c. Sambil mengawasi periksa golongan darah, dan siapkan donor transfusi darah. Kehamilan dipertahankan setua mungkin supaya janin terhindar dari premature.
d. Harus diingat bahwa bila dijumpai ibu hamil yang disangka dengan plasenta previa, kirim segera ke rumah sakit dimana fasilitas operasi dan tranfuse darah ada.
e. Bila ada anemi berikan tranfuse darah dan obat-obatan.
2. Solusio plasenta
a. Terapi konsrvatif
Prinsip :
Tunggu sampai paerdarahan berhenti dan partus berlangsung spontan. Perdarahan akan berhenti sendiri jika tekanan intra uterin bertambah lama, bertambah tinggi sehingga menekan pembuluh darah arteri yang robek.
Sambil menunggu atau mengawasi berikan :
1. Morphin suntikan subkutan
2. Stimulasi dengan kardiotonika seperti coramine, cardizol, dan pentazol.
3. Tranfuse darah.
b. Terapi aktif
Prinsip :
Melakukan tindakan dengan maksud anak segera diahirkan dan perdarahan segera berhenti.
Urutan-urutan tindakan pada solusio plasenta :
1. Amniotomi ( pemecahan ketuban ) dan pemberian oksitosin dan dan diawasi serta dipimpin sampai partus spontan.
2. Accouchement force : pelebaran dan peregangan serviks diikuti dengan pemasangan cunam villet gauss atau versi Braxtonhicks.
3. Bila pembukaan lengkap atau hampir lengkap, kepala sudah turun sampai hodge III-IV :
a. Janin hidup : lakukan ekstraksi vakum atau forceps.
b. Janin meninggal : lakukan embriotomi
4. Seksio cesarea biasanya dilakukan pada keadaan :
a. Solusio plasenta dengan anak hidup, pembukaan kecil
b. Solusio plasenta dengan toksemia berat, perdarahan agak banyak, pembukaan masih kecil.
c. Solusio plasenta dengan panggul sempit.
d. Solusio plasenta dengan letak lintang.
5. Histerektomi dapat dikerjakan pada keadaan :
a. Bila terjadi afibrinogenemia atau hipofibrino-genemia kalau persediaan darah atau fibrinogen tidak ada atau tidak cukup.
b. Couvelair uterus dengan kontraksi uterus yang tidak baik.
6. Ligasi arteri hipogastrika bila perdarahan tidak terkontrol tetapi fungsi reproduksi ingin dipertahankan.
7. Pada hipofibrinogenemia berikan :
a. Darah segar beberapa botol
b. Plasma darah
c. Fibrinogen
Konsep Asuhan Kep.
1. Pengkajian
Data Subjektif
A. Data umum
Biodata, identitas ibu hamil dan suaminya.
B. Keluhan utama
Keluhan pasien saat masuk RS adalah perdarahan pada kehamilan 28 minggu.
C. Riwayat kesehatan yang lalu
D. Riwayat kehamilan
- Haid terakhir
- Keluhan
- Imunisasi
E. Riwayat keluarga
- Riwayat penyakit ringan
- Penyakit berat
Keadaan psikososial
- Dukungan keluarga
- Pandangan terhadap kehamilan
F. Riwayat persalinan
G. Riwayat menstruasi
- Haid pertama
- Sirkulasi haid
- Lamanya haid
- Banyaknya darah haid
- Nyeri
- Haid terakhir
H. Riwayat perkawinan
- Status perkawinan
- Kawin pertama
- Lama kawin
Data Objektif
Pemeriksaan fisik
1. Umum
Pemeriksaan fisik umum meliputi pemeriksaan ibu hamil.
a. Rambut dan kulit
- Terjadi peningkatan pigmentasi pada areola, putting susu dan linea nigra.
- Striae atau tanda guratan bisa terjadi di daerah abdomen dan paha.
- Laju pertumbuhan rambut berkurang.
b. Wajah
- Mata : pucat, anemis
- Hudung
- Gigi dan mulut
c. Leher
d. Buah dada / payudara
- Peningkatan pigmentasi areola putting susu
- Bertambahnya ukuran dan noduler
e. Jantung dan paru
- Volume darah meningkat
- Peningkatan frekuensi nadi
- Penurunan resistensi pembuluh darah sistemik dan pembulu darah pulmonal.
- Terjadi hiperventilasi selama kehamilan.
- Peningkatan volume tidal, penurunan resistensi jalan nafas.
- Diafragma meningga.
- Perubahan pernapasan abdomen menjadi pernapasan dada.
f. Abdomen
Palpasi abdomen :
- Menentukan letak janin
- Menentukan tinggi fundus uteri
g. Vagina
- Peningkatan vaskularisasi yang menimbulkan warna kebiruan ( tanda Chandwick )
- Hipertropi epithelium
h. System musculoskeletal
- Persendian tulang pinggul yang mengendur
- Gaya berjalan yang canggung
- Terjadi pemisahan otot rectum abdominalis dinamakan dengan diastasis rectal
2. Khusus
- Tinggi fundus uteri
- Posisi dan persentasi janin
- Panggul dan janin lahir
- Denyut jantung janin
3. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan inspekulo
- Pemeriksaan radio isotopic
- Ultrasonografi
- Pemeriksaan dalam
2. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan perpusi jaringan ( plasental ) yang berhubungan dengan kehilangan darah.
2. Takut berhubungan dengan keprihatinan ibu tentang kesejahteraan diri dan bayinya.

3. Intervensi
1. Lakukan pemantauan keadaan ibu dan janin secara terus menerus, mencakup tanda-tanda vital, tanpa perdarahan. Haluaran perkemihan, pelacakan pemantauan elektronik, dan tanda persalinan.
2. Jelaskan prosedur kepada ibu dan keluarganya.
3. Pemberian cairan IV atau produk darah sesuai pesanan.
4. Tinjau kembali aspek penting dari perawatan kritis yang telah diberikan ini :
- Sudahkah saya menanyakan kepada ibu tentang perdarahan ?
- Jika perdarahan ada sudahkan saya mengkaji kuantitasnya dengan teliti ?
- Sudahkan saya memantau keadaan janin dengan teliti ?
- Apakah ada tanda-tanda takikardi / deserasi ?
- Sudahkah saya waspada terhadap perubahan keadaan ibu ?
- Adakah tanda persalinan ? adakah perubahan yang dilaorkan ibu ?
- Sudahkah saya melakukan langkah untuk menolog ibu menjadi nyaman saat tirah baring dengan cara menggosok punggung, memposisikan dengan bantal, pengalihan aktivitas.
4. Evaluasi
1. Kondisi ibu tetap stabil atau perdarahan dapat dideteksi dengan tepat, serta terapi mulai diberikan.
2. Ibu dan bayi menjalani persalinan dan kelahiran yang aman.

By.Bu. Eka Ratnawati S.Kep,.Ns

download klik disini
http://www.tusfiles.net/y4qjawfkr3uq
atau klik disini
Askep Perdarahan Ante Partum.docx -

Jumat, 15 Februari 2013

TV online

Asma






ASMA


A.    Konsep  Dasar Medik

  1. Definisi
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversible dimana trakea dan bronkus berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu, dan dimanifestasikan dengan penyempitan jalan napas, yang mengakibatkan dispnea, batuk dan mengi. (Brunner & Suddarth, Edisi 8, Vol. 1, 2001. Hal. 611).
Asma adalah suatu penyakit peradangan kronik pada jalan napas yang mana peradangan ini menyebabkan perubahan derajat obstruksi pada jalan napas dan menyebabkan kekambuhan. (Lewis, 2000, hal. 660).
Asma adalah suatu penyakit jalan napas yang ditandai oleh periode bronkospasme, merupakan penyakit kompleks yang meliputi biokimia, imunologi, endokrin, infeksi, autoimun dan faktor psikologi. (Luckman and Sorensen’s, 1993, Hal. 1021).
Dari ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa asma bronchiale adalah gangguan jalan nafas yang disebabkan oleh peningkatan respon trachea dan bronkus secara mendadak dan hiperaktif yang ditandai dengan gejala dispnea, batuk dan mengi

  1. Anatomi Fisiologi
a.     
tubuh manusia

Anatomi Pernafasan


Anatomi Paru-Paru (http;//blog.ilmukeperawatan.com/anatomi-sistem-pernafasan.html diperoleh pada tanggal 5 juli 2012)

Sistem pernafasan terdiri dari suatu rangkaian saluran udara yang mengantarkan udara luas agar bersentuhan dengan membran - membran kapiler alveoli paru. Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, pharing, laring, bronkus dan bronkioulus yang dilapisi oleh membran mukosa bersilia.
a.       Hidung
Ketika udara masuk ke rongga hidung udara tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Partikel-partikel yang kasar disaring oleh rambut-rambut yang terdapat di dalam hidung, sedangkan partikel halus akan dijerat dalam lapisan mukosa, gerakan silia mendorong lapisan mukus ke posterior di dalam rongga hidung dan ke superior di dalam saluran pernafasan bagian bawah.
b.      Pharing
Merupakan tempat persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Terdapat di bawah dasar tengkorak, di belakang rongga hidung dan mulut setelah depan ruas tulang leher.
Hubungan pharing dengan rongga-rongga lain: ke atas berhubungan dengan rongga hidung dengan perantaraan lubang yang bernama koana. Ke depan berhubungan dengan rongga mulut. Tempat hubungan ini bernama istmus fausium lubang esophagus.
Di bawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga di beberapa tempat terdapat folikel getah bening. Perkumpulan getah bening dinamakan adenoid. Di sebelahnya terdapat dua buah tonsil kiri dan kanan dari tekak. Di sebelah belakang terdapat epiglotis (empang tengkorak) yang berfungsi menutup laring pada waktu menelan makanan.
Rongga tekak dibagi menjadi 3 bagian:
·         Bagian sebelah atas yang sama tingginya dengan koana disebut nasofaring.
·         Bagian tengah yang sama tingginya dengan istmus fausium disebut orofaring.
·         Bagian bawah sekali dinamakan laringofaring.
c.       Laring
Laring terdiri dari satu seri cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot pita suara. Laring dianggap berhubungan dengan fibrasi tetapi fungsinya sebagai organ pelindung jauh lebih penting. Pada waktu menelan laring akan bergerak ke atas glotis menutup.
Alat ini berperan untuk membimbing makanan dan cairan masuk ke dalam esophagus sehingga kalau ada benda asing masuk  sampai di luar glotis maka laring mempunyai fungsi batuk yang membantu benda dan sekret dari saluran inspirasi bagian bawah.


d.      Trakea
Trakea disokong oleh cincin tulang yang fungsinya untuk mempertahankan agar trakea tatap terbuka. Trakea dilapisi oleh lendir yang terdiri atas epitelium bersilia, jurusan silia ini bergerak jalan ke atas ke arah laring, maka dengan gerakan ini debu dan butir halus yang turut masuk bersama dengan pernafasan dapat dikeluarkan.
e.       Bronkus
Dari trakea udara masuk ke dalam bronkus. Bronkus memiliki percabangan yaitu bronkus utama kiri dan kanan yang dikenal sebagai karina. Karina memiliki syaraf yang menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika dirangsang. Bronkus utama kiri dan kanan tidak simetris, bronkus kanan lebih pendek dan lebih besar yang arahnya hampir vertikal, sebalinya bronkus ini lebih panjang dan lebih sempit. Cabang utama bronkus bercabang lagi menjadi bronkus lobaris dan kemudian segmentalis. Percabangan ini berjalan terus dan menjadi bronkiolus terminalis yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli.
f.       Bronkiolus
Saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkiolus terminalis merupakan saluran penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru setelah bronkiolus terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari bronkiolus respiratorik, duktus alveolaris, sakus alveolaris terminalis, alveolus dipisahkan dari alveolus di dekatnya oleh dinding septus atau septum.
Alveolus dilapisi oleh zat lipoprotein yang dinamakan surfaktan yang dapat mengurangi tegangan pertukaran dalam mengurangi resistensi pengembangan pada waktu inspirasi dan mencegah kolaps alveolus pada ekspirasi.



Peredaran Darah Paru-Paru
Paru-paru mendapat dua sumber suplai darah yaitu dari arteri bronkialis (berasal dari aorta thorakhalis dan berjalan sepanjang dinding posterior bronkus) dan arteri pulmonalis. Sirkulasi bronchial menyediakan darah teroksigenasi dari sirkulasi sitemik dan berfungsi memenuhi kebutuhan metabolisme paru.
Vena bronkialis besar bermuara pada vena cava superior dan mengembalikan darah ke atrium kanan. Vena bronkialis yang lebih kecil akan mengalirkan darah ke vena pulmonalis. Arteri pulmonalis yang berasal dari ventrikel kanan jantung mengalirkan darah vena campuran ke paru-paru. Di paru-paru terjadi pertukaran gas antara alveoli dan darah, darah yang teroksigenasi dikembalikan ke ventrikel kiri jantung melalui vena pulmonalis, yang selanjutnya membagikannya melalui sirkulasi sistemik ke seluruh tubuh.
Proses Pernafasan dipengaruhi oleh:
Ventilasi       : pergerakan mekanik udara dari dan ke paru-paru
Perfusi          : distribusi oksigen oleh darah ke seluruh pembuluh darah di paru-paru.
Difusi           : pertukaran oksigen dan karbondioksida antara alveoli dan kapiler paru.
Transportasi  : pengangkutan O2-CO2 yang berperan pada sistem cardiovaskuler.
  1. Etiologi
·         Faktor Ekstrinsik
Ditemukan pada sejumlah kecil pasien dewasa dan disebabkan oleh alergen yang diketahui karena kepekaan individu, biasanya protein, dalam bentuk serbuk sari yang hidup, bulu halus binatang, kain pembalut atau yang lebih jarang terhadap makanan seperti susu atau coklat, polusi.
·         Faktor Intrinsik
Faktor ini sering tidak ditemukan faktor-faktor pencetus yang jelas. Faktor-faktor non spefisik seperti flu biasa, latihan fisik atau emosi dapat memicu serangan asma. Asma instrinsik ini lebih biasanya karena faktor keturunan dan juga sering timbul sesudah usia 40 tahun. Dengan serangan yang timbul sesudah infeksi sinus hidung atau pada percabangan trakeobronchial.
  1. KLASIFIKASI
a.       Klasifikasi asma berdasarkan keadaan patologis
1)   Asma Bronchiale Tipe Atropik (Ekstrinsik)
Yaitu asma yang disebabkan oleh alergen, misalnya: serbuk sari binatang, makanan dan jamur. Biasanya mempunyai riwayat keluarga yang alergen dan riwayat medis masa lalu, iskemia dan rhinita alergik.
2)   Asma Bronchiale Tipe non-Atropik (Intrinsik)
Yaitu tidak berhubungan dengan alergen spesifik, faktor-faktor seperti common vold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi dan lingkungan pencetus serangan. Serangan menjadi lebih berat dan dapat berkembang menjadi bronkitis kronis dan empisema.
3)   Asma Gabungan
Yaitu bentuk asthma yang paling umum, mempunyai karakteristik dari bentuk alergik maupun bentuk idiopatik atau non alergik.
b.      Klasifikasi penyakit asma berdasarkan frekuensi kemunculan gejala
1)   Intermitten, yaitu sering tanpa gejala atau munculnya kurang dari 1 kali dalam seminggu dan gejala asma malam kurang dari 2 kali dalam sebulan. Jika seperti itu yang terjadi, berarti faal (fungsi) paru masih baik.
2)   Persisten ringan, yaitu gejala asma lebih dari 1 kali dalam seminggu dan serangannya sampai mengganggu aktivitas, termasuk tidur. Gejala asma malam lebih dari 2 kali dalam sebulan. Semua ini membuat faal paru realatif menurun.
3)   Persisten sedang, yaitu asma terjadi setiap hari dan serangan sudah mengganggu aktivitas, serta terjadinya 1-2 kali seminggu. Gejala asma malam lebih dari 1-2 kali seminggu. Gejala asma malam lebih dari 1 kali dalam seminggu. Faal paru menurun.
4)   Persisten berat, gejala asma terjadi terus-menerus dan serangan sering terjadi. Gejala asma malam terjadi hampir setiap malam. Akibatnya faal paru sangat menurun
  1. Manifestasi Klinis
Gejala asma yang klasik terdiri atas batuk, sesak dan mengie (wheezing) dan sebagian penderita disertai nyeri dada). Gejala-gejala tersebut tidak selalu terdapat bersama-sama, sehingga ada beberapa tingkat penderita asma sebagai berikut:
·         Tingkat I penderita asma secara klinis normal. Gejala asma timbul bila ada faktor pencetus.
·         Tingkat II penderita asma tanpa keluhan dan tanpa kelainan pada pemeriksaan fisik tetapi fungsi paru menunjukan tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
·         Tingkat III penderita asma tanpa golongan tetapi pada pemeriksaan fisik maupun fungsi paru menunjukan obstruksi jalan nafas.
Misal: Tingkat II dijumpai setelah sembuh dari serangan asma.
      Tingkat III penderita sembuh tetapi tidak menemukan pengobatannya.
·         Tingkat IV penderita asma yang paling sering dijumpai mengeluh sesak nafas, batuk dan nafas berbunyi.
Pada pemeriksaan fisik maupun spirometri akan ditemukan obstruksi jalan nafas. Pada serangan asma yang berat gejala yang timbul antara lain:
a.       Kompresi otot-otot bantu pernafasan terutama otot sterna.
b.      Cyanosis
c.       Silent chest
d.      Gangguan kesadaran
e.       Penderita tampak letih, hiperinflasi dada
f.       Thacycardi
·         Tingkat V status asmatikus yaitu serangan asma akut yang berat bersifat refrater sementara terhadap pengobatan yang langsung dipakai.
  1. Patofisiologi
Asma adalah obstruksi jalan nafas difus revesible yang disebabkan oleh satu atau lebih dari faktor berikut ini.
1.      Kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkus yang menyempitkan jalan nafas.
2.      Pembengkakan membran yang melapisi bronkus.
3.      Pengisian bronkus dengan mukus yang kental.
Selain itu, otot-otot bronchial dan kelenjar membesar. Sputum yang kental, banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflamasi dengan udara terperangkap di dalam paru.
Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (mediator) seperti: histamin, bradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari suptamin yang bereaksi lambat.
Pelepasan mediator ini mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan nafas menyebabkan broncho spasme, pembengkakan membran mukosa dan pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem syaraf otonom mempengaruhi paru, tonus otot bronchial diatur oleh impuls syaraf pagal melalui sistem para simpatis. Pada asthma idiopatik/non alergi, ketika ujung syaraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti: infeksi, latihan, udara dingin, merokok, emosi dan polutan. Jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat.
Pelepasan astilkolin ini secara langsung menyebabkan bronchikonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi.
Pada serangan asma berat yang sudah disertai toxemia, tubuh akan mengadakan hiperventilasi untuk mencukupi kebutuhan O2. Hiperventilasi ini akan menyebabkan pengeluaran CO2 berlebihan dan selanjutnya mengakibatkan tekanan CO2 darah arteri (pa CO2) menurun sehingga terjadi alkalosis respiratorik (pH darah meningkat). Bila serangan asma lebih berat lagi, banyak alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak ikut sama sekali dalam pertukaran gas. Sekarang ventilasi tidak mencukupi lagi, hipoksemia bertambah berat, kerja otot-otot pernafasan bertambah berat dan produksi CO2 yang meningkat disertai ventilasi alveolar yang menurun menyebabkan retensi CO2 dalam darah (Hypercapnia) dan terjadi asidosis respiratori (pH menurun). Stadium ini kita kenal dengan gagal nafas.
Hipotermi yang berlangsung lama akan menyebabkan asidosis metabolik dan konstruksi jaringan pembuluh darah paru dan selanjutnya menyebabkan sunting peredaran darah ke pembuluh darah yang lebih besar tanpa melalui unit-unit pertukaran gas yang baik. Sunting ini juga mengakibatkan hipercapni sehingga akan memperburuk keadaan.





















7.      Pathway

 
































  1. Pemeriksaan Diagnostik
1.      Tes kulit (tuberculin dan alergen)
Tes kulit (+) reaksi lebih hebat, mengidentifikasi alergi yang spesifik.
2.      Rontgen: foto thorax menunjukan hiperinflasi dan pernafasan diafragma.
3.      Pemeriksaan sputum: Dapat jernih atau berbusa (alergi)
     Dapat kental dan putih (non alergi)
     Dapat berserat (non alergi)
4.      Pemeriksaan darah: *  Eusinofilia (kenaikan badan eusinofil)
  *  Peningkatan kadar IgE pada asma alergi
  *  AGD à hipoxi (serangan akut)
9.      Epidemiologi
Menurut Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) tahun 2001, penyakit saluran napas merupakan penyakit penyebab kematian terbanyak kedua di Indonesia setelah penyakit gangguan pembuluh darah. Di Amerika, 14 sampai 15 juta orang mengidap asma, dan kurang lebih 4,5 juta di antaranya adalah anak-anak. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit utama yang menyebabkan pasien membutuhkan perawatan, baik di rumah sakit maupun di rumah. Sebagian dari semua kasus asma berkembang sejak masa kanak-kanak, sedangkan sepertiganya pada masa dewasa sebelum umur 40 tahun. Namun demikian, asma dapat dimulai pada segala usia, mempengaruhi pria dan wanita tanpa kecuali, dan bisa terjadi pada setiap orang pada segala etnis (Ikawati, 2006).
  1. Penatalaksanaan Medik
Ada lima kategori pengobatan yaitu:
1.      Abenis (Beta)
Medikasi awal untuk mendilatasi otot-otot polos bronchial, meningkatkan gerakan siliarism, menurunkan mediator kimiawi anafilaktik dan menguatkan efek bronkodilatasi dari kortikosteroid.
Contoh: Epinenin, Abuterol, Meraproterenol
2.      Methil Santik
Mempunyai efek bronkodilator, merileksasikan otot-otot polos bronkus, meningkatkan gerakan mukus, dan meningkatkan kontraksi diafragma.
Contoh: Aminofilin, Theofilin
3.      Anti Cholinergik
Diberikan melalui inhalasi bermanfaat terhadap asmatik yang bukan kandidat untuk antibodi b dan methil santin karena penyakit jantung.
Contoh: Atrofin
4.      Kortikosteroid
Diberikan secara IV, oral dan inhalasi. Mekanisme kerjanya untuk mengurangi inflamasi dan bronkokonstriktor.
Contoh: hidrokortison, prednison dan deksametason
5.      Inhibitor Sel Mast
Contoh: natrium bromosin adalah bagian integral dari pengobatan asma yang berfungsi mencegah pelepasan mediator kimiawi anafilaktik.
  1. Komplikasi
1.      Pneumothorax: masuknya udara ke dalam rongga pleura
2.      Emfisema subcutis
3.      Atelektasis: gangguan ekspansi paru
4.      Asper gilosis bronkopulmoner
5.      Alergi: Suatu reaksi hiperaktif tubuh terhadap suatu rangsangan
6.      Gagal nafas
7.      Bronchitis: infeksi pada bronkus
  1. Prognosis
Kematian akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang berjumlah kira-kira 10 juta orang. Namun, angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas.
Informasi mengenai perjalanan klinis asma mengatakan bahwa prognosis baik ditemukan pada 50 sampai 80 persen pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita asma 7 sampai 10 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari 26 sampai 78 persen, dengan nilai rata-rata 46 persen; akan tetapi persentase anak yang menderita penyakit yang berat relative rendah (6 sampai 19 persen).
Tidak seperti penyakit saluran napas yang lain seperti bronchitis kronik, asma tidak progresif. Bahkan bila tidak diobati, pasien asma tidak terus menerus berubah dari penyakit yang ringan menjadi penyakit yang berat seiring berjalannya waktu.
  1. Pencegahan
a.         Menjaga Kesehatan
Menjaga kesehatan tubuh merupakan usaha yang tidak terpisahkan dari pengobatan penyakit asma. Bila penderita lemah dan kurang gizi, tidak saja mudah terserang penyakit tetapi juga berarti mudah untuk mendapat serangan penyakit asma beserta komplikasinya. Usaha mencegah penyakit ini antara lain berupa makan makanan yang bernilai gizi baik, minum banyak, istirahat yang cukup, rekreasi dan olahraga yang sesuai untuk mengatasi penyakit. Penderita dianjurkan banyak minum kecuali bila dilarang dokter, karena menderita penyakit lain seperti penyakit jantung atau ginjal yang berat.
b.        Menjaga Kebersihan Lingkungan
Lingkungan dimana penderita hidup sehari-hari sangat mempengaruhi timbulnya serangan penyakit asma. Keadaan rumah misalnya sangat penting diperhatikan. Rumah sebaiknya tidak lembab, cukup ventilasi dan cahaya matahari. Sebaiknya alat-alat tidur tidak terbuat dari kabu-kabu.









B.     Konsep Dasar Keperawatan

  1. Pengkajian
a.       Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
1)    Riwayat keluarga asma dan alergi.
2)    Baru saja mengalami ISPA atau sinusitis.
3)    Riwayat alergi
4)    Riwayat obat-obat yang biasa digunakan.
b.      Pola nutrisi metabolik
1)   Mengeluh mual dan tidak nafsu makan karena distress pernapasan.
2)   Tidak mau makan selama serangan.
c.       Pola eliminasi
1)   Adakah perubahan pola berkemih dan air besae
2)   Bising usus negatif
d.      Pola aktivitas dan latihan
1)    Sesak, batuk produktif dengan sputum kuning atau hijau.
2)    Ortopnea.
e.       Pola tidur dan istirahat
1)    Kurang tidur karena sesak
2)    Insomnia.
f.       Pola persepsi kognitif
1)   Klien mampu mengungkapkan strategi mengatasi serangan akut tapi tidak mampu menggunakan efektif selama serangan (panik).
g.      Pola persepsi dan konsep diri
1)   Merasa sebagai orang yang lemah atau sakit-sakitan, perubahan body image.
h.      Pola hubungan dengan sesama
1)   Mengeluh karena serangan dicetuskan oleh orang-orang sekitar, seperti : asap, rokok.
i.        Pola reproduksi seksualitas
1)      Adakah gejala penurunan libido
j.        Pola koping dan toleransi terhadap stress.
1)    Cemas, marah, putus asa.
k.      Pola sistem kepercayaan
1)   Percaya bahwa Tuhan harapan hidupnya
2)   Percaya bahwa ini merupakan cobaan dari Tuhan

  1. Diagosa Keperawatan
a.       Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan sekret.
b.      Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai O2.
c.       Intoleransi beraktivitas dalam melakukan perawatan diri berhubungan dengan sesak dan kelemahan fisik.
d.      Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan pemasukan yang tidak adekuat: mual, muntah dan tidak nafsu makan.
e.       Kecemasan berhubungan dengan sesak nafas dan takut.
f.       Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru selama serangan akut.
g.      Resiko tinggi infeksi sekunder berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahan utama (penurunan kerja silia dan menetapnya sekret).
h.      Kurang pengetahuan berhubungan dengan  kurangnya informasi.

  1. Rencana Tindakan
a.       Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan sekret.
HYD:   -    Suara nafas vesikuler
-          Bunyi nafas bersih, tidak ada suara tambahan
Intervensi:
1.      Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas misalnya mengi, krekels, ronchi.
R/ Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas dan dapat/tidak dimanifestasikan adanya bunyi nafas adventisius misalnya: penyebaran, krekels basah (bronkitis), bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi (emfisema) atau tidak adanya bunyi nafas (asma berat).
2.      Kaji/pantau frekuensi pernafasan, catat radio inspirasi/ekspirasi.
R/ Tachipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stress/adanya proses infeksi akut. Pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang dibanding inspirasi.
3.      Catat adanya derajat dyspnea misalnya keluhan “lapar udara”, gelisah, ansietas, distress pernafasan, penggunaan otot bantu.
R/ Disfungsi pernafasan adalah variabel yang tergantung pada tahap proses kronis selain proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit. Misalnya infeksi, reaksi alergi.
4.      Kaji pasien untuk posisi yang nyaman misalnya peninggian kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.
R/ Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi. Sokongan tangan/kaki dengan meja, bantal, dll membantu menurunkan kelemahan otot dan dapat sebagai alat ekspansi dada.
5.      Pertahankan polusi lingkungan minimum misalnya: debu, asap dan bulu bantal yang berhubungan dengan kondisi individu.
R/ Pencetus tipe reaksi alergi pernafasan yang dapat, mentriger episode akut.
6.      Dorong/bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
R/ Memberikan pasien-pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dyspnea dan menurunkan jebakan udara.
7.      Observasi karakteristik batuk misalnya menetap, batuk pendek, basah. Bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan upaya batuk.
R/ Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya bila pasien lansia, sakit akut atau kelemahan. Batuk paling efektif pada posisi duduk tinggi atau kepala di bawah setelah perkusi dada.
8.      Tingkatkan masukan cairan antara sebagai pengganti makanan.
 R/       Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret. Mempermudah pengeluaran. Penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus. Cairan selama makan dapat meningkatkan distensi gaster dan tekanan pada diafragma.

b.      Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai O2.
HYD:   -    Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan.
Intervensi:
1.      Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan.
R/ Berguna dalam evaluasi derajat distress pernafasan atau kronisnya penyakit.
2.      Awasi secara rutin kulit dan membran mukosa.
R/ Kemungkinan cyanosis perifer terlihat pada kuku, bibir dan daun telinga.
3.      Kaji AGD, pO2, pCO2.
R/ Hipoxemia biasanya terjadi pada saat akut keadaan lanjut pCO2 akan meningkat.
4.      Monitor tingkat kesadaran, kelainan sakit kepala dan gangguan penglihatan.
R/ Sebagai parameter menunjukan beratnya serangan.
5.      Monitor TTV dan penggunaan otot bantu pernafasan.
R/ Indikator yang menunjukan hipoxemia dan meningkatkan usaha untuk ventilasi.

c.       Intoleransi beraktivitas dalam melakukan perawatan diri berhubungan dengan sesak dan kelemahan fisik.
HYD:   -    Mampu beraktivitas sesuai keadaan.
-          Merawat diri secara mandiri.
Intervensi:
1.      Kaji keluhan sesak, pusing dan kemampuan merawat diri klien.
R/ Memahami masalah klien.
2.      Bantu personal higiene (mandi, berpakaian, bab, bak).
R/ Higiene klien terpenuhi.

d.      Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan pemasukan yang tidak adekuat akibat dari mual, muntah, tidak nafsu makan.
HYD:   -    Nutrisi terpenuhi secara adekuat.
-          Berat badan dalam batas normal sesuai IMT.
Intervensi:
1.      Kaji status nutrisi klien.
R/ Klien dengan distress pernafasan sering anoreksia dikarenakan dyspnea, produksi sputum dan obat-obatan.
2.      Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
R/ Kegagalan pernafasan membuat status hipermetabolik dengan peningkatan kebutuhan kalori.
3.      Auskultasi bising usus.
R/ Penurunan bising usus menunjukan penurunan motilitas gaster dan konstipasi yang berhubungan dengan penurunan aktivitas.
4.      Hindarkan makanan yang menghasilkan sisa gas dan karbonat.
R/ Dapat menghasilkan distensi abdomen yang mengganggu pernafasan abdomen.
5.      Beri makanan porsi kecil dan sering.
R/ Membantu menurunkan kelemahan selama waktu makan dan memberikan kesempatan untuk meningkatkan masukan kalori total.

e.       Kecemasan berhubungan dengan sesak nafas dan takut.
HYD:   -    Ekspresi wajah rileks.
-          Mengungkapkan perasaan cemas berkurang.
-          TTV dalam batas normal.
Intervensi:
1.      Kaji tingkat ansietas (ringan, sedang, berat).
R/ Untuk menentukan intervensi selanjutnya dan membantu pasien meningkatkan beberapa perasaan kontrol emosi.
2.      Kaji kebiasaan ketrampilan koping.
R/ Memberikan pasien tindakan mengontrol untuk menurunkan ansietas dan ketegangan otot.
3.      Beri dukungan emosional, tetap berada di dekat pasien selama serangan akut, antisipasi kebutuhan pasien, berikan keyakinan lingkungan.
R/ Menurunkan stress dan meningkatkan relaksasi dan kemampuan koping.
4.      Implementasikan teknik relaksasi, petunjuk imajinasi, relaksasiotot.
R/ Memberikan pasien untuk tindakan mengontrol untuk menurunkan ansietas dan ketegangan otot.
5.      Jelaskan prosedur-prosedur, berikan pertanyaan-pertanyaan.
R/ Menurunkan stress dan meningkatkan relaksasi.
6.      Pertahankan periode istirahat yang telah direncanakan dan kegiatan sehari-hari yang ringan dan sederhana, jangan anjurkan berbicara bila sedang dyspnea berat, batasi pengunjung bila perlu dan berikan dorongan untuk melakukan periode istirahat dengan sering.
R/ Menurunkan stress dan meningkatkan relaksasi.

f.       Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru selama serangan akut.
HYD:   Pasien mempertahankan pola nafas efektif yang ditunjukan oleh:
-          Frekuensi irama dan kedalaman pernafasan.
-          Tidak terdapat atau dyspnea berkurang.
-          Gas-gas darah arteri dalam batasan yang dapat diterima oleh pasien.
Intervensi:
1.      Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada serta catat upaya pernafasan termasuk penggunaan otot bantu atau pelebaran nasal.
R/ Kecepatan biasanya meningkatkan dyspnea dan terjadi peningkatan kerja nafas, kedalaman pernafasan bervariasi tergantung derajat gagal nafas.
2.      Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas adventisius seperti krekels, mengi, gesekan pleural.
R/ Ronchi dan mengi menyertai obstruksi jalan nafas/kegagalan pernafasan.
3.      Beri posisi semi fowler.
R/ Membantu ekspansi paru.
4.      Bantu pasien dalam nafas dalam dan latihan batuk efektif.
R/ Membantu mengeluarkan sputum dimana dapat mengganggu ventilasi dan ketidaknyamanan upaya bernafas.
5.      Berikan therapi oksigen sesuai pesanan.
R/ Memaksimalkan persediaan oksigen untuk pertukaran gas.
6.      Berikan obat-obatan sesuai pesanan.
R/ Mempercepat penyembuhan.

g.      Resiko tinggi infeksi sekunder berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret.
HYD:  Tidak terjadi infeksi ditandai dengan tidak ditemukannya kemerahan, panas dan pembengkakan.
Intervensi:
1.      Observasi TTV.
R/ Indikator tanda-tanda infeksi.
2.      Observasi warna, karakter dan bau sputum.
R/ Sekret berbau kuning atau kehijauan menunjukan adanya infeksi paru.
3.      Anjurkan pasien membuang tissue dan sputum pada tempatnya.
R/ Mencegah penyebaran patogen melalui cairan.
4.      Dorong keseimbangan antara aktivitas dengan istirahat.
R/ Menurunkan konsumsi atasu kebutuhan keseimbangan oksigen dan memperbaiki pertahanan pasien terhadap infeksi, meningkatkan penyembuhan.
5.      Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
R/ Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi.
6.      Berikan obat sesuai pesanan.
R/ Mencegah terjadinya infeksi.


h.      Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi.
HYD: Pasien mendemonstrasikan pengetahuan tentang penatalaksanaan perawatan kesehatan seperti yang dijelaskan tentang prinsip perawatan diri yang berhubungan dengan proses penyakit.
Intervensi:
1.      Kaji tingkat pengertian mengenai proses penyakit.
R/ Untuk menentukan intervensi selanjutnya.
2.      Jelaskan pentingnya pencegahan, serangan selanjutnya.
R/ Menambah pengetahuan dan partisipasi pasien.
3.      Jelaskan pentingnya latihan pernafasan dan batuk efektif.
R/ Membantu meminimalkan kolaps jalan nafas.
4.      Jelaskan tentang proses penyakit dan perawatan diri selama serangan hebat.
R/ Menurunkan ansietas dan dapat kooperatif dari pasien.
5.      Jelaskan pentingnya diit dan cairan: makan seimbang dan bergizi, hindari penambah berat badan yang berlebihan, perbanyak cairan 2000-3000 ml/hari kecuali ada kontraindikasi.
R/ Meningkatkan kooperatif dari pasien.
6.      Diskusikan mengenai obat, nama, dosis, waktu pemberian, tujuan dan efek samping serta pentingnya minum obat sesuai pesanan.
R/ Meningkatkan pengetahuan pasien dan pasien dapat kooperatif dalam proses penyembuhannya.
4.      Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan asuhan kerawatan merupakan realisasi daripada rencana tindakan keperawatan yang telah di terapkan meliputi tindakan idependent, dependent, interdependent. Pada pelaksanaan terdiri dari bebrapa kegiatan, validasi, rencana keperawatan, mendokumentasikan rencan akeperawatan memberikan asuhan keperawatan dan pengumpulan data. (Susan Martin, 1998).
5.      Evaluasi
Evaluasi adalah hasil akhir dari proses keperawatan di lakukan untuk mengetahui sampai dimana keberhasilan tindakan yang di berikan sehingga dapat menentukan intervensi yang akan di lanjutkan.
a.       Suara nafas vesikuler
b.      Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan.
c.       Mampu beraktivitas sesuai keadaan.
d.      Nutrisi terpenuhi secara adekuat.
e.       Ekspresi wajah rileks.
f.       Pasien mempertahankan pola nafas efektif.
g.      Tidak terjadi infeksi ditandai dengan tidak ditemukannya kemerahan, panas dan pembengkakan.
h.      Pasien mendemonstrasikan pengetahuan tentang penatalaksanaan perawatan kesehatan seperti yang dijelaskan tentang prinsip perawatan diri yang berhubungan dengan proses penyakit.
6.      Discharge Planning
1.      Pasien dengan asma kambuhan harus menjalani pemeriksaan, mendeteksi substansi yang mencetuskan terjadinya serangan.
2.      Menghindari agen penyebab serangan antara lain bantal, kasur (kapas), pakaian jenis tertentu, hewan peliharaan, kuda, sabun, makanan tertentu, jamur dan serbuk sari.
3.      Menganjurkan pasien untuk segera melaporkan tanda-tanda dan gejala yang menyulitkan seperti bangun saat malam hari dengan serangan akut atau mengalami infeksi pernafasan.
4.      Hidrasi adekuat harus dipertahankan untuk menjaga sekresi agar tidak mengental.
5.      Pasien harus diingatkan bahan infeksi harus dihindari karena infeksi dapat mencetuskan serangan.
6.      Menggunakan obat-obat sesuai dengan resep.
7.      Kontrol ke dokter sesuai pesanan.

7.       Fungsi Etik dan Legal
Advokat
Membela hak klien dengan: Memberikan perawatan sebaik mungkin kepada pasien. Jika dalam melakukan suatu tindakan, pasien tidak didampingi oleh keluarga nya atau kerabat dekat nya maka sebagai perawat kita dapat meminta persetujuan dari pasien itu sendiri bila masih dalam keadaan sadar, sehingga bukti hukum menjadi kuat dan semua tindakan dilakukan secara legal.
Kode Etik
a.      Kita harus memberikan informasi yang sebenarnya mengenai keadaan atau kondisi pasien.
b.      Memberikan tindakan keperawatan sesuai prosedur perawatan dan penuh tanggungjawab.
c.       Memberikan tindakan tanpa membedakan antara pasien yang satu dengan yang lain nya.
d.      Menjaga privasi pasien mengenai penyakitnya.






PENDIDIKAN KESEHATAN

                                          SATUAN ACARA PENYULUHAN                                         
(SAP)



Tema                                      : Penyakit Sistem Respirasi
Sub Tema                               : Penyakit Asma
Sasaran                                  : Bp. X
Tempat                                   : Rumah Sakit  A
Hari/Tanggal                         : Senin, 3 Desember 2012
Waktu                                                : 30 Menit

A.  Tujuan Instruksional Umum
Setelah mengikuti penyuluhan selama 30 menit, diharapkan Bp. X dapat menjelaskan penyakit Asma.
B.  Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mengikuti penyuluhan selama 30 menit, diharapkan Klien dapat:
1.      Menjelaskan pengertian penyakit Asma dengan benar
2.      Menyebutkan faktor penyebab yang dapat menimbulkan penyakit Asma
3.      Menyebutkan tanda/gejala dari penyakit Asma
4.      Menyebutkan penatalaksanaan penyakit Asma
5.      Menyebutkan komplikasi penyakit Asma
C.  Materi
1.      Pengertian penyakit Asma
2.      Faktor penyebab dari penyakit Asma
3.      Tanda/gejala penyakit Asma
4.      Penatalaksanaan penyakit Asma
5.      Komplikasi penyakit Asma
D.  Metode
1.      Ceramah
2.      Tanya jawab

E.  Kegiatan Penyuluhan
No
Kegiatan
Penyuluh
Peserta
Waktu
1.
Pembukaan
·         Salam pembuka
·         Menyampaikan tujuan penyuluhan
·         Menjawab salam
·         Menyimak,
Mendengarkan, menjawab pertanyaan
5 Menit
2.
Kerja/ isi
·       Penjelasan pengertian, penyebab, gejala, penatalaksanaan dan patofisiologi penyakit Myocarditis
·       Memberi kesempatan peserta untuk bertanya
·       Menjawab pertanyaan

·       Evaluasi
·         Mendengarkan dengan penuh perhatian

·         Menanyakan hal-hal yang belum jelas
·         Memperhatikan jawaban dari penceramah
·         Menjawab pertanyaan
 15 menit
3.
Penutup
·         Menyimpulkan
·         Salam penutup
·      Mendengarkan
·      Menjawab salam
10 Menit


F.   Media
Leaflet: Tentang penyakit Asma

G.  Sumber/Referensi
a.       Doenges, E. Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Ed. 3. EGC : Jakarta.
b.      Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
c.       FKUI. 1999. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1. FKUI : Jakarta.

H.  Evaluasi
Formatif:
1.      Klien dapat menjelaskan pengertian penyakit Asma
2.      Klien mampu menyebutkan faktor penyebab dari penyakit Asma
3.      Klien dapat menyebutkan tanda/gejala penyakit Asma
4.      Klien  mampu menyebutkan penatalaksanaan penyakit Asma
5.      Klien mampu menyebutkan komplikasi penyakit Asma.
Sumatif:
Klien dapat memahami penyakit penyakit Asma


Yogyakarta, 3 Desember 2012

                                                                                                      Penyuluh


                                                                                           (Guntur Marct Aditya)



 








9. Jurnal
Dampak Pedoman Obat Asma Asma Pada Penggunaan Controller Dan Pada Tingkat Asma Eksaserbasi Membandingkan 1997-1998 Dan 2004-2005.
Penulis : Peringkat MA, Liesinger JT, Ziegenfuss JY, Branda ME, Lim KG, BP Yawn; Shah ND
Sumber : Annals Of Alergi, Asma & Imunologi
Abstrak :                                                 
Latar Belakang: Hubungan antara penggunaan obat asma kontroler dan tingkat eksaserbasi dari waktu ke waktu tidak jelas pada tingkat populasi.
Tujuan: Untuk memperkirakan perubahan dalam penggunaan obat asma kontroler antara 2 periode waktu yang diukur dengan rasio kontroler-to-total obat asma dan hubungannya dengan perubahan tingkat eksaserbasi asma antara 1997-1998 dan 2004-2005.
Metode: Desain penelitian adalah cross-sectional tingkat populasi perbandingan antara individu dari 1997-1998 dan 2004-2005. Peserta penelitian adalah individu usia 5 sampai 56 tahun yang diidentifikasi sebagai memiliki asma dalam Medical Pengeluaran Panel Survey (MEPS). Ukuran hasil utama adalah controller-to-total asma rasio obat lebih besar dari 0,5 dan tingkat eksaserbasi asma (pengeluaran kunjungan departemen sistemik kortikosteroid atau darurat / rawat inap untuk asma) tahun 1997-1998 dibandingkan dengan 2004-2005.
Hasil: Proporsi individu dengan controller-to-total rasio obat asma lebih besar dari 0,5, ketika disesuaikan dengan faktor demografis lainnya, telah meningkat sebesar 16,1% (95% CI: 10,8%, 21,3%) untuk semua individu tahun 1997-1998 untuk 2004-2005. Tingkat asma eksaserbasi tahunan tidak berubah secara signifikan dalam setiap kelompok dari 1997-1998 hingga 2004-2005 (0.27/year ke 0.23/year). Individu Amerika dan Hispanik Afrika dengan asma memiliki tingkat eksaserbasi asma lebih tinggi dan proporsi yang lebih rendah dengan rasio kontroler-to-total obat asma lebih besar dari 0,5 dibandingkan kulit putih di kedua 1997-1998 dan 2.004-2.005, namun perbedaan tersebut tidak signifikan secara statistik.
Kesimpulan: Peningkatan asma kontroler-to-total rasio obat dalam sampel mencerminkan penduduk AS tidak terkait dengan tingkat eksaserbasi asma menurun membandingkan 1997-1998 dan 2004-2005.


DAFTAR PUSTAKA



  1. Doengoes, E. Marilynn. (1993). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
  2. Smeltzer and Brenda (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol. 1, Jakarta : EGC.
  3. Lewis, Sharon Mantik. (2000). Medical Surgical Nursing : Assessment and Management of Clinical Problems. Fifth Edition. Missouri : Mosby Inc.
  4. Luckman and Sorensen’s (1993). Medical Surgical Nursing : A Psychophysiologic Approach. Fourth edition. Washington : W.B. Saunders Company.
  5. MIMS Indonesia petunjuk konsultasi edisi 7,
  6. http://web.ebscohost.com/ehost/detail?sid=7ccdd710-a753-4993-85e4-13899e40b321%40sessionmgr113&vid=1&hid=112&bdata=JnNpdGU9ZWhvc3QtbGl2ZQ%3d%3d#db=mnh&AN=22192958


download disini
ASMA BAB 2.1 KDM.DOC -
atau
konsep dasar keperawatan download disini
ASMA BAB 2.2 KDK.DOC -

 

Blogger news

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Blogroll

Widget edited by super-bee

About