Read more: http://www.uzumaki-popey.com/2013/01/cara-membuat-blog-agar-tidak-bisa-di.html#ixzz2QmnmosON

Pages

Selasa, 30 April 2013

Proposal KKL


A.LATAR BELAKANG
          Setelah melakukan Survai Mawas Diri (SMD) pada masyarakat Dusun Senanggan Kelurahan Kemloko Kecamatan Kranggan dapat dilihat tingkat penggunaanm WC umum yang ada di dusun senanggan mencapai 49 % atau hampir mencapai setengahnya. Dan WC Umum yang sudah ada belum maksimal di gunakan warga, melihat kondisi warga setempat masih cenderurung belum semuanya memiliki WC pribadi dan masih ada yang memiliki kebiasaan BAB di sungai.Demi meningkatkan kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat maka kami selaku mahasiswa yang sedang menjalani KKL merencana untuk mendayagunakan kembali WC umum yang sudah ada sehingga bisa digunakan secara maksimsl oleh warga.
B.SASARAN
        Warga masyarakat Dusun Senanggan Kelurahan Kemloko Kecamatan Kranggan
C. RENCANA ANGGARAN
            Rencana  Anggaran Pendayagunaan WC Umum:
Material
Batu Bata                    :           Rp.      -
Fiber                            :           Rp.      100.000,-
Pipi air                         :           Rp.      300.000,-
Semen                         :           Rp.      120.000,-
Pasir                            :           Rp.      -
Paku payung               :           Rp.      10.000,-
Paku biasa                   :           Rp.      8.000,-
Cat tembok                 :           Rp.      60.000,-
Lem pralon                  :           Rp.      6.500,-
Knie                            :           Rp.      20.000,-
Jumlah                                     Rp.      624.50
D. KEPANITIAAN
 Ketua              :           Natya Susiana

 Wakil              :           Nurdiansyah

 Sekretaris        :           1.Dwi Astuti
                                    2.Alfian Kurnia

 Bendahara      :           1. Sukmawati
2. Linda Ariyanti

 Sie Humas      :           1.Puji Prihanto
                                    2. Dian Kristiawan


            Mengetahui,                                                     Senanggan , 8 April 2012
                Kepala Kadus                                                                      Ketua  


            Suyoto Atmojo                                                                             Natya Susiana

atau

Laporan KKL desa


LAPORAN KEGIATAN HARIAN DSN.SENANGGAN                               
NO
TGL
WAKTU
KEGIATAN HARIAN
1.
27-03-12
20.00WIB
Perkenalan dengan tokoh-tokoh masyarakat dan diskusi interaktif
2.
28-03-12
16.00WIB

20.00WIB
-Pengkajian surve mawas diri

-perkenalan dengan warga masyarakat RT.01 dan diskusi interaktif

3.
29-03-12
16.00WIB

20.00WIB
-pengkajian surve mawas diri

-mengikuti yasinan Bapak
-perkenalan dengan warga masyarakat RT.03 dan diskusi interaktif
4.
30-03-12
16.00WIB

20.00WIB
-pengkajian surve mawas diri

-perkenalan dengan warga masyarakat RT.02 dan diskusi interaktif
5.
31-03-12
16.00WIB
Pengkajian surve mawas diri
6.
01-04-12
20.00WIB
Mengikuti Yasinan Ibu
7.
03-04-12
20.00WIB
Penyuluhan kepada ibu2 tentang perawatan payudara dan SARARI
8.
04-04-12
08.30WIB
Mengikuti kegiatan posyandu balita
9.
05-04-12
09.00WIB

20.00WIB
-Penyuluhan di smp prapanca tentang sex bebas, Bahaya merokok dan Narkoba

-Mengikuti yasinan Bapak
-penyuluhan tentang penyakit hipertensi dan pemeriksaan tensi warga masyarakat
10.
06-04-12
20.00WIB
Pertemuan dengan tokoh masyarakat membahas tentang MMD
11.
07-04-12
20.00WIB
Musyawarah bersama dengan warga masyarakat RT.02(pre MMD)
12.
08-04-12
20.00WIB
Penyuluhan tentang penyakit hipertensi pada ibu-ibu Dawis Kenanga 2 dan pemeriksaan tensi serta penyuluhan tentang PHBS di Dawis Kenanga 1
13
09-04-12
20.00WIB
-mengikuti kegiatan yasinan Ibu-ibu
-penyuluhan tentang penyakit CA Cerviks dan CA mammae

atau

Spondilo Tuberculosis


SPONDILITIS TUBERKULOSIS
I. PENDAHULUAN

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa 1,9 milyar manusia, sepertiganya penduduk dunia ini, telah terinfeksi kuman Micobacterium tuberculosis. Angka infeksi tertinggi di Asia Tenggara, Cina, India, Afrika, dan Amerika Latin. Tuberkulosis terutama menonjol di populasi yang mengalami stres, nutrisi jelek, penuh sesak, perwatan kesehatan yang tidak cukup, dan perpindahan tempat.

Pada orang dewasa, dua pertiga kasus terjadi pada orang laki-laki, tetapi ada sedikit dominasi tuberkulosis pada wanita di masa anak. Frekuensi tuberkulosis terjadi pada orang tua populasi kulit putih di Amerika Serikat. Sebaliknya, pada populasi kulit berwarna tuberkulosis paling sering pada orang dewasa muda dan anak-anak umur kurang dari lima tahun. Kisaran umur 5-14 tahun sering disebut “umur kesayangan” karena pada semua populasi manusia kelompok ini mempunyai frekuensi penyakit tuberkulosis yang terendah.

Di Amerika Serikat, seperlima dari kasus baru tuberkulosis dihubungkan dengan penyakit ekstrapulmoner. Tuberkulosis telah dilaporkan terdapat pada seluruh tulang di tubuh. Di Amerika, penyakit ini melibatkan tulang vertebra pada 50 % pasien (vertebra torakal pada 50 %, vertebra servikal 25 %, dan vertebra lumbal 25 %), pelvis pada 12 % pasien, panggul dan paha pada 10 %, lutut dan tungkai bawah 10 %, tulang iga 7 %, pergelangan kaki 2 %, siku 2 %, dan tempat lain 3 %.

Tuberkulosis ekstrapulmoner lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa yaitu sekitar sepertiga dari anak-anak dengan tuberkulosis punya manifestasi ekstrapulmoner.

Spinal tuberkulosis telah dikenal sejak zaman kuno di Egyp & Peru dan penyakit ini merupakan salah satu penyakit tertua pada manusia yang pernah ditemukan. Percival Pott mempresentasikan tentang spinal tuberkulosis pada tahun 1779. dan sejak adanya obat antituberkulosis dan meningkatnya derajat kesehatan masyarakat, spinal tuberkulosis menjadi jarang dijumpai. Spinal tuberkulosis dapat menyebabkan morbiditas yang serius, termasuk defisit neurologis yang permanen deformitas berat. Pengobatan medis atau kombinasi medis dan pembedahan dapat mengontrol penyakit ini pada banyak pasien.

II. DEFINISI

Spondilitis Tuberkulosa ialah suatu bentuk infeksi tuberkulosis ekstrapulmoner yang mengenai tulang belakang (vertebra). Infeksi mulai dari korpus vertebra, menjalar ke diskus intervertebralis dan kemudian mencapai alat-alat dan jaringan di dekatnya.

Walaupun Spondilitis Tuberkulosa dapat berkembang di tiap korpus vertebra, namun menurut statistik lokalisasi di vertebra torakal adalah paling umum (35 %). Lokalisasi di tingkat lumbal terdapat pada 31 % penderita. Dan di tingkat torakolumbal (T12- L1) adalah sebesar 23 %.

III. PATOGENESIS

Spondilitis tuberkulosa merupakan kelanjutan dari penyebaran kuman tuberkulosa yang sudah bermukim di tubuh, misalnya di paru atau kelenjar getah bening. Penyebaran itu berlangsung melalui aliran darah arteri vertebralis. Kuman tuberkulosa pertama bersarang di korpus vertebra. Sarang itu terletak dekat lapisan epifisial atas atau bawah. Erosi yang terjadi akibat perkembangan sarang tuberkulosa itu merusak korpus vertebra dan menjebolkan diskus intervertebralis ke dalam kanalis vertebralis. Konsekuensinya ialah deformitas tulang belakang setempat sehingga timbul gibusdan timbulnya penekanan pada medula spinalis akibat proses tuberkulosa itu berada di salah satu korpus vertebra. Bila ligamentum longitudenal posterior saja yang terkena maka proses itu dapat berkembang di bagian itu saja tanpa merusak tulang belakang. Dalam hal itu foto rontgen memperlihatkan tulang belakang yang normal, tapi pasien bisa berada dalam keadaan paraplegi akibat penekanan terhadap medula spinalis.

Gibus tidak selamanya disertai penjebolan diskus intervertebralis, sehingga tidak timbul kompresi medula spinalis. Gibus itu disebut gibus yang terkompensasi. Bila yang rusak hanya sebuah korpus vertebra saja, lengkungan yang terjadi runcing bentuknya. Gibus yang runcing ini disebut gibus angularis. Bila yang mengalami kerusakan lebih dari satu vertebra, gibus yang terjadi berbentuk seperti busur dan dinamakan gibus arkuatus.

Sebagai proses kelanjutan dapat berkembang abses yang pada mulanya merupakan tempat hancurnya jaringan yang terkena proses tuberkulosa. Semain hancur maka terjadilah abses yang pada permulaan menjebol ke anterior dan ke samping korpus vertebra. Kemudian dapat terjadi perluasan ke bawah atau menjebol ke posterior di sela subdural. Penjebolan ke belakang di sela subdural inilah yang mengakibatkan paraplegi.

Abses paravertebral itu bisa menurun dan tiba di tepat origo otot psoas, lalu berkembang di dalam sarung otot tersebut dan akhirnya tiba di bawah ligamentum Poupart. Pada tempat ini ia dapat salah didiagnosa sebagai hernia. Ia pun dapat menurun sampai ke pelvis dan menjebol di daerah gluteus dan menurun ke bagian lateral paha. Di sini ia dapat salah didiagnosa sebagai lipoma.

IV. MANIFESTASI KLINIS

Tuberkulosis pada tulang belakang tidak tampak pada tahun pertama kehidupan. Mulai timbul setelah anak belajar berjalan dan melompat. Kemudian terjadi pada semua umur.

· Keluhan yang paling dini berupa rasa pegal di punggung yang belum jelas lokalisasinya. Kemudian terasa nyeri sejenak kalau badan digerakkan atau tergerak, yang tidak lama berikutnya akan jelas lokalisasinya karena nyerinya lebih mudah timbul dan lebih keras intensitasnya. Pada tahap yang agak lanjut nyeri di punggung itu ditambah dengan nyeri interkostal yang bersifat radikular. Nyeri itu terasa bertolak dari ruas tulang belakang dan menjalar sejajar dengan iga ke dada dan berhenti tepat di garis tengah dada. Untuk mengurangi keadaan ini anak menarik punggungnya kuat-kuat. Anak menghindari penekukan tubuh waktu mengambil sesuatu di lantai. Jika terpaksa dia hanya menekukkan lututnya untuk menjaga punggungnya tetap lurus. Rasa nyeri akan membaik bila dia beristirahat.

· Tanda-tanda pada tingkatan yang berbeda :

Ø Pada leher, jika mengenai vertebra servikal penderita tidak suka memutar kepalanya dan duduk dengan meletakkan dagu di tangannya. Dia akan merasa nyeri pada leher atau pundaknya. Jika terjadi abses, pembengkakan dengan fluktuasi yang ringan akan tampak pada sisi yang sama pada leher di belakang otot sternomastoid atau tonjolan pada bagian belakang mulut (faring).

Ø Pada punggung bawah sampai iga terakhir (regio toraks). Dengan adanya penyakit pada regio ini, penderita memiliki punggung yang besar. Dalam gerakan memutar dia lebih sering menggerakkan kakinya daripada mengayunkan pinggulnya. Saat memungut sesuatu dari lantai dia menekuk lututnya sementara punggungnya tetap lurus. Kemudian akan terdapat pembengkakan atau lekukan yang nyata pada tulang belakang (gibus) diperlihatkan dengan korpus vertebra yang terlipat.

Ø Jika abses ini menjalar menuju dada bagian kanan dan kiri serta akan muncul sebagai pembengkakan yang lunak pada dinding dada (abses dingin yang sama dapat menyebabkan tuberkulosis kelenjar getah bening interkosta). Jika menuju ke punggung dapat menekan serabut saraf spinal yang menyebabkan paralisis.

Ø Saat tulang belakang yang terkena lebih rendah dari dada (regio lumbal), di mana juga berada di bawah serabut saraf spinal, pus juga dapat menjalar pada otot sebagaimana pada tingkat yang lebih tinggi. Jika ini terjadi akan tampak sebagai pembengkakan lunak di atas atau di bawah ligamentum pada lipat paha atau di bawahnya tetap pada sisi dalam dari paha (abses psoas). Pada keadaan yang jarang pus dapat berjalan menuju pelvis dan mencapai permukaan belakang sendi panggul.

(Pada negara-negara dengan prevalensi tinggi 1 dari 4 penderita dengan tuberkulosis tulang belakang mempunyai abses yang dapat diraba.)

Ø Pada pasien-pasien dengan malnutrisi akan didapatkan demam (kadang-kadang demam tinggi), kehilangan berat badan dan kehilangan nafsu makan. Di beberapa negara Afrika juga didapati pembesaran kelenjar getah bening, tuberkel subkutan, pembesaran hati dan limpa.

Ø Pada penyakit-penyakit yang lanjut mungkin tidak hanya terdapat gibus (angulasi dari tulang belakang), juga terdapat kelemahan dari anggota badan bawah dan paralisis (paraplegi) akibat tekanan pada serabut saraf spinal atau pembuluh darah.

V. PEMERIKSAAN

A. Pemeriksaan fisis

Tujuan pemeriksaan fisis :

- Untuk menemukan tanda-tanda spinal tuberkulosis

- Untuk melokalisasi lesi yang ada

- Untuk menemukan komplikasinya seperti abses dingin atau paraplegi

Pemeriksaan fisis yang sistematis pada kasus sangkaan spinal tuberkulosis :

v Gaya berjalan. Pasien dengan spinal tuberkulosis berjalan dengan langkah-langkah pendek untuk menghindari sentakan pada tulang belakang.

v Sikap tubuh dan deformitas. Pasien dengan tuberkulosis servikal memiliki leher yang kaku, pasien dengan tuberkulosis spinal dorsalis, terdapat gibus.

v Paravertebral bengkak, kemerahan dapat ditemukan pada abses dingin yang superfisial.

Pemeriksaan neurologis perlu dilakukan pada daerah diatas dan di bawah lesi, juga pemeriksaan fungsi motorik, sensorik, dan refleks diperlukan untuk menilai fungsi kemih dan defekasi.

Tujuan pemeriksaan neurologis adalah untuk menemukan ada tidaknya kompresi neurologis, tingkat kompresi neurologi, dan tingkat keparahan kompresi neurologis.

B. Pemeriksaan penunjang

v Pemeriksaan laboratorium :

o Tuberkulin skin test menunjukkan hasil yang positif pada 84-95% pasien dengan HIV negatif.

o Laju endap darah dapat meningkat lebih dari 100 mm/jam

o Pemeriksaan mikrobiologi BTA, kultur dan test sensitivitas

v Pemeriksaan radiologi :

· Foto polos dapat menunjukkan gambaran khas tuberkulosis spinal :

o Destruksi lisis dari bagian anterior vertebra

o Penyempitan diskus intervertebralis bagian anterior

o Korpus vertebra hancur

o Tampak sklerosis pada proses lisis yang progresif

o Osteoporosis pada lapisan bawah vertebra

o Pembesaran bayangan psoas dengan atau tanpa kalsifikasi

o Diskus interventrebral menyusup atau hancur

· CT-scan dapat memberi gambaran lebih baik dari tulang dengan lesi lisis irreguler, sklerosis, kolaps diskus, dapat memberi gambaran jaringan lunak yang lebih baik, terutama daerah epidural dan paraspinl. Dapat mendeteksi lesi yang dini dan lebih efektif mendefenisikan bentuk dan kalsifikasi dari abses.

· MRI merupakan kriteria standar untuk mengevaluasi infeksi pada rongga diskus dan osteomielitis dari spinal dan paling efektif untuk menunjukkan perluasan penyakit ini ke jaringan lunak dan penjalaran debris tuberkulosa ke ligamen longitudinal anterior dan posterior. MRI paling efektif untuk melihat kompresi neural.

v Biopsi jarum juga membantu kasus yang sulit tetapi memerlukan pengalaman dan ilmu jaringan yang baik.

VI. KOMPLIKASI

Komplikasi timbul sebagai manifestasi dari kompresi medula spinalis, yang berupa refleks tendon yang meninggi dan refleks Babinski yang positif, sekalipun penderitanya belum mengeluh bahwa kedua tungkainya agak lemah (paraparese ringan) atau mengeluh bahwa gaya berjalannya kurang mantap.

VII. DIAGNOSA BANDING

1. Traumatik

2. Myeloma

3. Diskus prolaps

4. Ankylosing spondilitis

5. Tumor spinal

VIII. PENATALAKSANAAN

Sebelum ditemukannya pengobatan antituberkulosa, spondilitis tuberkulosis diterapi dengan immobilisasi pada tirah baring yang lama. Frekuensi mortalitasnya ± 20 %, dan kekambuhan ± 30 %. Gabungan pengobatan dan pembedahan pada pasien sudah dikembangkan.

British Medical Research Council menyatakan bahwa spondilitis tuberkulosa harus diterapi dengan regimen pengobatan kombinasi tiga obat anti tuberkulosa selama 6-9 bulan. Pada daerah dengan resisten INH, digunakan regimen empat obat. Regimen tiga obat tersebut adalah INH, Rifampicin dan Pirazinamide.

Lamanya pengobatan masih kontroversial. Walaupun penelitian menganjurkan selama 6-9 bulan, tetapi yang masih lazim dipakai sekarang adalah pengobatan selama 9-12 bulan. Jadi lamanya pengobatan bersifat individual dan tergantung kepada penyembuhan dari gejala aktif dan stabilitas gejala klinis dari pasien.

Indikasi pembedahan pada spondilitis tuberkulosis adalah :

1. Adanya defisit neurologis (kemunduran neurologis akut, paraparese, paraplegi)

2. Deformitas spinal yang tidak stabil

3. Tidak respons dengan terapi medis

IX. PROGNOSA

· Tingkat efektifitas terapi tinggi jika tidak terdapat komplikasi deformitas berat dan defisit neurologis.

· Paraplegi yang dihasilkan dari kompresi medula spinalis biasanya punya respons yang baik terhadap pengobatan antituberkulosa.

· Jika terapi medis tidak berhasil, operasi dekompresi akan meningkatkan angka kesembuhan.

· Paraplegi dapat muncul dan menetap pada kerusakan medula spinalis yang permanen

atau 

Askep Intoksikasi Organ Fosfat


INTOKSIKASI INSEKTISIDA FOSFAT ORGANIK (IFO)

Pengertian umum :
Pestisida adalah semua yang dipakai untuk membasmi hama, antara lain terdiri dari :
a.       Insektisida             : Khusus untuk serangga
b.      Rodentisida           : Untuk membasmi tikus
c.       Herbisida               : Untuk membasmi tanaman pengganggu.

Dua macam insektisidayang paling banyak dipakai :
1.      Insektisida hidrokarbon khorin (HK = Chlorida hydrocarbon)
2.      Insektisida fosfat organik (IFO =organo phosphate insectiside)

Sifat-sifat IFO
Insektisida penghambat kholin esterase (cholinesterase inhibitor insecticide) merupakan insektisida poten yang paling banyak digunakan dalam pertanian dengan toksisitas yang tinggi. Dapat menembus kulit yang normal, dapat diserap lewat paru dan saluran makanan, tidak berakumulasi dalam jaringan tubuh seperti halnya golongan IHK.

Jenis-jenis IFO
1.      Insektisida untuk dipakai  dalam pertanian :
Tolly (Malathion)              Parathion
Basudin                             Diazinon
Phosdrin                            Systox

2.      Insektisida untuk keperluan rumah tangga
Mafu (DDVP = Dichiorvos)         Baygon (DDVP + Propoxur)
Raid (DDVP + Propoxur)             Startox (DDVP + Allethrin)
Shelltox (DDVP + Pyrethroid)

Pathogenesis

  1. IFO bekerja dengan cara menghambat (inaktivasi) enzim asetil kholin esterase tubuh (KhE).
  2. Dalam keadaan normal, enzim KhE bekerja untuk menghidralisis Akh dengan jalan mengadakan ikatan Akh-KhE yang bersifat inaktif.
  3. Akibatnya akan terjadi penumpukan Akh ditempat-tempat tertentu, sehingga timbul gejala-gejala rangsangan Akh yang berlebihan, yang akan menimbulkan efek muskarinik, nikotinik dan SSP (menimbulkan stimulasi kemudian depresi SSP).
Pada keracunan IFO, ikatan IFO-KhE menetap (Irreversible)
Pada keracunan carbamate : bersifat sementara (reversible)
Secara  farmakologik efek Akh dapat dibagi dalam 3 bagian, yaitu :
  1. Muskarinik terutama pada otot polos saluran pencernaan makanan, kelenjar ludah dan keringat, pupil, bronkhus dan jantung.
  2. Nikotinik, terutama pada otot-otot bergaris, bola mata, lidah, kelopak mata dan otot pernapasan.
  3. SSP, menimbulkan rasa nyeri kepala, perubahan emosi, kejang-kejang sampai koma.

Diagnosis
1.      Gambaran klinik
Yang palig menonjol adalah  hiperaktivitas kelenjar-kelenjar ludah/air mata/keringat/urine/saluran pencernaan makanan (disngkat dengan SLUD = Salivasi, Lakrimasi, Urinasi dan diare), kelainan visus dan kesukaran bernapas.
  1. Keracunan ringan
- Anoriksia                  - Nyeri kepala              - Rasa lemah
- Rasa takut                 - Tremor lidah             - Tremor kelopak mata
- Pupil miosis
  1. Keracunan sedang
- Nausea                      - Muntah-muntah        - Kejang/keram perut.
- Hipersalivasi             - Hiperhidrosis            - Fasikulasi otot
- Bradikardi
  1. Keracunan berat
- Diare                         - Pupil “pin-Point”      - Reaksi cahaya (-)
- Sesak napas               - Sianosos                    - Edema paru
- Inkonteinensia urine - Inkotinensia feses     - Konvulsi
- Koma                        - Blokade jantung       - Akhirnya meninggal

2.      Pemeriksaan laboratorium
  1. Pemeriksaan rutin tidak banyak menolong
  2. Pemeriksaan khusus : pengukuran kadar kHE dalam sel darahmerah dan plasma, penting untuk memastikan diagnosis keracunan akut maupun kronik (menurun sekian % dari harga normal)
Keracunan akut :   ringan  40 – 70 % N
                              Sedang 20 % N
                        Berat < 20 % N
Keracunan kronik : bila kadar KhE menurun sampai 25 – 50 %, setiap individu yang berhubungan dengan insektisida ini harus segera disingkirkan dan baru diizinkan bekerja kembali bila kadar KhE telah meningkat > 75 % N.

3.      Pemeriksaan PA
Pada keracunan akut, hasil pemeriksaan patologi biasanya tidak khas, sering hanya ditemukan adanya edema paru, dilatasi kapiler dan hiperemi paru, otak dan organ-organ lain.

Pengobatan

1.      Resusitasi
a.       Bebaskan jalan napas
b.      Napas buatan + O2, kalau perlu gunakan respirator pada kegagalan napas yang berat.
c.       Infus cairan kristaloid.
d.      Hindari obat-obatan penekan SSP

2.      Eliminasi
Emesis, katarsis, kumbah lambung, keramas rambut dan mandikan seluruh tubuh dengan sabun.
3.      Antidotum
Atropin sulfat (SA) bekerja dengan menghambat efek akumulasi Akh pada pada tempat-tempat penumpukannya.
a.       Mula-mula berikan bolus intra vena 1 – 2,5 mg, pada anak 0,05 mg/kg.
b.      Dilanjutkan dengan 05 –1 mg setiap 5 – 10 menit sampai timbul gejala-gejala atropinisasi (muka merah, mulut kering, takhikardi, midriasis, febris, psikosis. Pada anak 0,02 – 0,05 mg/kg iv tiap 10 – 30  menit.
c.       Selanjutnya setiap 2 – 4 – 6  dan 12 jam.
d.      Pemberian SA dihentkan minimal 2 x 24 jam.
e.       Penghentian SA yang mendadak dapat menimbulkan “rebound efect” berupa edema paru/kegagalan pernapasan akut, sering fatal.
Timbulnya gejala-gejala atropinisasi yang lengkap, dapat dipakai sebagai petunjuk adanya keracunan atropin.
Reaktivator KhE bekerja dengan memotong ikatan IFO-KhE sehinggatimbul reaktivitas ensim KhE. Yang terkenal 2 PAM (pyrydin – 2 – aldoxime methiodide /methcloride = Pralidoxime = Protopam). Hanya bermanfaat pada keracunan IFO, kontra indikasi pada keracunan carbamate.
Dosis 1 gr iv perlahan-lahan (10 – 20 menit), diulang setelah 6 – 8 jam, hanya diberikan bila pemberian atropin telah adekuat. Pada anak-anak 25 – 50 mg/kg BB iv, maksimal 1 gr/hari, dapat diulang setelah 6 – 8 jam.

Prognosis
Pada umumnya baik, bila pengobatan belum terlambat, beberapa kesalahan pengobatan sering terjadi, berupa :
a.       Resusitasi kurang baik dikerjakan.
b.      Eliminasi racun kurang baik.
c.       Dosis atropin kurang adekuat, atau terlalu cepat dihentikan.

Pengkajian Keperawatan

a.       Tanda-tanda vital
-          Distress pernapasan
-          Sianosis
-          Takipnoe
b.      Neurologi
IFO menyebabkan tingkat toksisitas SSP lebih tinggi, efek-efeknya termasuk letargi, peka rangsangan, pusing, stupor & koma.
c.       GI Tract
Iritasi mulut, rasa terbakar pada selaput mukosa mulut dan esofagus, mual dan muntah.
d.      Kardiovaskuler
Disritmia.
e.       Dermal
Iritasi kulit
f.       Okuler
Luka bakar kurnea
g.      Laboratorium
­          Eritrosit menurun
­          Proteinuria
­          Hematuria
­          Hipoplasi sumsum tulang
h.      Diagnostik
­          Radiografi dada dasar/foto polos dada
­          Analisa gas darah, GDA, EKG

Intervensi secara umum

Perawatan Suportif
1.      Jalan nafas
2.      Pernapasan
3.      Sirkulasi

Pencegahan Absorbsi

1.      Ipekak dianjurkan pada pasien dalam keadaan sadar dengan ingesti terhadap :
  1. Distilat petroleum dalam jumlah yang besar
  2. Distilat petroleum dengan adiktif toksik serius (logam berat, insektisida)
  3. Hidrokarbon aromatik halogen.
2.      Lakukan lavage pada pasien yang memerlukan dekontaminasi tetapi terlalu sakit untuk diberikan ipekak
3.      Arang obat
4.      Katartik Saline

Pemantauan Jantung : pada pasien simptomatik
Tekanan Ekspirasi :
Akhir positif mungkin diperlukan untuk mempertahankan oksigenasi yang adekuat.

Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Timbul

Diagnosa .1 :
Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan hilangnya cairan tubuh secara tidak normal
Tujuan : Tidak terjadi kekurangan cairan
Kriteria evaluasi :
Keseimbangan cairan adekuat
-          Tanda-tanda vital stabil
-          Turgor kulit stabil
-          Membran mukosa lembab
-          Pengeluaran urine normal 1 – 2 cc/kg BB/jam
Intervensi :
1.      Monitor pemasukan dan pengeluaran cairan.
Rasional :  Dokumentasi yang akurat dapat membantu dalam mengidentifikasi pengeluran dan penggantian cairan.
2.      Monitor suhu kulit, palpasi denyut perifer.
Rasional : Kulit dingain dan lembab, denyut yang lemah mengindikasikan penurunan sirkulasi perifer dan dibutuhkan untuk pengantian cairan tambahan.
3.      Catat adanya mual, muntah, perdarahan
Rasional :  Mual, muntah dan perdarahan yang berlebihan dapat mengacu pada hipordemia.
4.      Pantau tanda-tanda vital
Rasional :  Hipotensi, takikardia, peningkatan pernapasan mengindikasikan kekurangan cairan (dehindrasi/hipovolemia).
5.      Berikan cairan parinteral dengan kolaborasi dengan tim medis.
Rasional :  Cairan parenteral dibutuhkan untuk mendukung volume cairan /mencegah hipotensi.
6.      Kolaborasi dalam pemberian antiemetik
Rasional :  Antiemetik dapat menghilangkan mual/muntah yang dapat menyebabkan ketidak seimbangan  pemasukan.
7.      Berikan kembali pemasukan oral secara berangsur-angsur.
Rasional :  Pemasukan peroral bergantung kepada pengembalian fungsi gastrointestinal.
8.      Pantau studi laboratorium (Hb, Ht).
Rasional :  Sebagai indikator/volume sirkulasi dengan kehilanan cairan.

Diagnosa .2 :
Resiko pola napas tidak efektif  berhubungan dengan efek langsung toksisitas IFO, proses inflamasi.
Tujuan : Pola napas efektif
Kriteria Evaluasi :
-          RR normal : 14 – 20 x/menit
-          Alan napas bersih, sputum tidak ada
Intervensi :
1.      Pantau tingkat, irama pernapasan & suara napas serta pola pernapasan
Rasional :  Efek IFO mendepresi SSP yang mungkin dapat mengakibatkan hilangnya kepatenan aliran udara atau depresi pernapasan, pengkajian yang berulang kali sangat penting karena kadar toksisitas mungkin  berubah-ubah secara drastis.
2.      Tinggikan kepala  tempat tidur
Rasional :  Menurunkan kemungkinan aspirasi, diagfragma bagian bawah untuk  untuk menigkatkan inflasi paru.
3.      Dorong untuk batuk/ nafas dalam
Rasional :  Memudahkan ekspansi paru & mobilisasi sekresi untuk mengurangi resiko atelektasis/pneumonia.
4.      Auskultasi suara napas
Rasional :  Pasien beresiko atelektasis dihubungkan dengan hipoventilasi & pneumonia.

5.      Berikan O2 jika dibutuhkan
Rasional :  Hipoksia mungkin terjadi akibat depresi pernapasan
6.      Kolaborasi untuk  sinar X dada, GDA
Rasional :  Memantau kemungkinan munculnya komplikasi sekunder seperti atelektasis/pneumonia, evaluasi kefektifan dari usaha pernapasan.

Diagnosa .3 :
Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kerentanan pribadi, kesulitan dalam keterampilan koping menangani masalah pribadi.
Tujuan :           Koping individu efektif, tidak terjadi kerusakan  perilaku adaptif dalam pemecahan masalah.
Kriteria Evaluasi :
-          Klien mampu mengungkapkan kesadaran tentang penyalahgunaan bahan insektisida.
-          Mampu menggunakan keterampilan koping dalam pemecahan masalah
-          Mampu melakukan hubungan /interaksi sosial.

Intervensi :
1.      Pastikan dengan apa pasien ingin disebut/dipanggil.
Rasional :  Menunjukkan penghargaan dan hormat
2.      Tentukan pemahaman situasi saat ini & metode koping sebelumnya terhadap masalah kehidupan.
Rasional :  Memberi informasi tentang derajar menyangkal, mengidentifikasi koping yang digunakan pada rencana perawatan saat ini
3.      Tetap tidak bersikap tidak menghakimi
Rasional :  Konfrontasi menyebabkan peningkatan agitasi yang menurunkan keamanan pasien.
4.      Berikan umpan balik positif
Rasional :  Umpan balik yang positif perlu untuk meningkatkan harga diri dan menguatkan kesadaran diri dalam perilaku
5.      Pertahankan harapan pasti bahwa pasien  ikut serta dalam terapi
Rasional :  Keikut sertaan dihubungkan degan penerimaan kebutuhan terhadap bantuan, untuk bekerja.
6.      Gunakan dukungan keluarga/teman sebaya untuk mendapatkan cara-cara koping.
Rasional :  Dengnan pemahaman dan dukungan  dari keluarga /teman sebaya dapat membantu menngkatkan kesadaran.
7.      Berikan informasi tentang efek meneguk insektisida
Rasional :  Agar klien mengetahui efek samping yang berakibat fatal pada organ-organ vital bila menelan insektisida (baygon)
8.      Bantu pasien untuk menggunakan keterampilan relaksasi
Rasional :  Relaksasi adalah pengembangan cara baru menghadapi stress.

Diagnosa .4
Koping keluarga tidak efektif (tidak mampu) berhubungan dengan kerentanan pribadi anggota keluarga, krisis situasi, sosial.

Tujuan : Koping keluarga efektif.
Kriteria Evaluasi :
-          Mengungkapkan pengertian dinamika saling tergantung dan partisipasi dalam program individu dan keluarga.
-          Mampu mengidentifikasi perilaku koping tidak efektif.
-          Melakukanperubahan perilaku.
-          Mendukung terhadap program pengobatan & perawatan keluarga.

Intervensi :
1.      Kaji riwayat keluarga, gali masing-masing peran anggota keluarga
Rasional :  Menentukan area untuk fokus, potensial perubahan.
2.      Tentukan pemahaman situasi saat ini dan metode sebelumnya dari koping dengan masalah kehidupan.
Rasional :  Memberikan dasar informasi sebagai dasar perencanaan saat ini
3.      Kaji tingkat situasi/fungsi saat ini dari anggota keluarga.
Rasional :  Mempengaruhi kemampuan individu untuk mengatasi situasi.
4.      Tentukan luasnya perilaku mampu yang dibuktikan oleh anggota keluarga gali dengan individu dan pasien.
Rasional :  Mampu adalah melakukan untuk pasien apa yang perlu untuk dirinya sendiri, individu ditolong dan tidak ingin  merasa tidak tidak berdaya untuk menolong orang lain & megeluh perilaku yang sangat destruktif.
5.      Berikan informasi faktual pada pasien dan keluarga tentang efek perilaku penalahgunaan zat pada keluarga dan apa yang diharapkan setelah pulang.
Rasional :  Banyak orang atau pasien yang tidak sadar tentang sifat bahan insektisida
6.      Dorong orang terdekat menyadari perasaan mereka sendiri dengan melihat situasi dengan perspektif dan objektivitas.
Rasional :  Bila anggota keluarga yang tergantung manjadi sadar  tentang tindakan mereka sendiri yang secara terus-menerus ada masalah, mereka perlu untuk memutuskan untuk mengubah diri mereka. Bila meeka berubah pasien dapat menghadapi konsekuensi tindakan pasien sendiri dan dapat memilih untuk mendapatkan yang baik.

7.      Kaji perasaan yang menimbulkan konflik individu.
Rasional :  Bermanfaat dalam membuat kebutuhan terapi untuk individu yang tergantung.

Diagnosa .5 :
Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis,kebutuhan pengobatan dan efek samping penggunaan obat zat insektisida berhubungan dengan kurangnya informasi.

Tujuan : Pasien mempunyai pengathuan tentang kondisi, prognosis, kebutuhan pengobatan dan efek samping penggunaan zat insektisida.
Kriteria Evaluasi :
-          Dapat mengungkapkan pemahaman tentang penyakitnya sendiri dan rencana pengobatan.
-          Berpartisipasi dalam program pengoabatan.
-          Perubahan perilaku untuk tidak melakukannya lagi.

Intervensi :
1.      Sadari dan hadapi ansietas pasien dan anggota keluarga.
Rasional :  Ansietas dapat mempengaruhi kemampuan mendegar dan mengasimilasi informasi.
2.      Berikan peran aktif untuk pasien dalam proses belajar.
Rasional :  Belajar dapat ditingkatkan bila individu secara aktif terlibat.
3.      Berikan informasi tertulis dan  verbal untuk indikasi.
Rasional :  Membantu pasien membuat pilihan berdasarkan informasi tentang masa depan yang bermanfaat untuk pendekatan terapi lain.
4.      Kaji pengetahuan pasien tangtang situasi sendiri misalnya penyakit, perubahan kebutuhan dalam gaya hidup.
Rasional :  Membantu dalam merencanakan perubahan jangka panjang yang perlu untuk mempertahankan status pantanan.
5.      Pantau ulang kondisi & prognosis/ harapan masa depan.
Rasional :  Memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi.
6.      Diskusikan efek zat yang digunakan.
Rasional :        Informasi akan membentu pasien memahami  kemungkinan efek jangka panjang dari penggunaan zat.

Diagnosa .6 :
Resiko tinggi terhadap tindak kekerasan  pada diri sendiri (berulang) berhubungan dengan  perpanjangan depresi/tingkah laku ingin bunuh diri.
Tujuan : Tidak terjadi tindakan ulang kekerasan pada diri sendiri

Kriteria Evaluasi :
-          Mengutarakan pemehaman tingkah laku & faktor-faktor yang mempengaruhi.
-          Mencapai tahap hilangnya  rasa takut & realitas situasi.
-          Menunjukkan kontrol diri.

Intervensi :
1.      Kurangi ransangan, berikan ruangan yang tenang atau tempatkan pada ruangan yang stimulasinya dikurangi dibawah pengawasan.
Rasional : Menurunkan kreativitas dan menngkatkan rasa tenang.
2.      Izinkan orang-orang yang penting bagi pasien untuk tetap tinggal di dalam ruangan selama prosedur dilakukan jika dimungkinkan.
Rasional : Dapat memberikan efek ketenangan  jika melihat seseorang yang dikenal oleh pasien dan memberikan penenangan.
3.      Pindahkan barang-barang yang berpotensi membahayakan pasien dari lingkungannya.
Rasional : Menurunkan kemungkin pasien mencelakai orang lain atau melakukan ide bunuh diri.
4.      Berikan kesempatan untuk mengekspresikan perasaan agresif secara verbal.
Rasional : Memberikan jalan yang baru dalam mengekspresikan perasaan akan membentuk pasien belajar mengembangkan kemampuan  memecahkan masalah yang baik.
5.      Bantu pasien mengidentifikasi apa yang dapat menyebabkan pasien menjadi marah.
Rasional : Kesadaran akan reaksi merupakan  tahap pertama dari belajar untuk  berubah
6.      Berikan jalan keluar untuk mengekspresikan diri meliputi aktiivitas fisik.
Rasional : Dengan mengaktifkan fisik didalam menciptakan lingkungan yang aman dapat menurunkan dorongan untuk melakukan tindakan agresif.

DAFTAR  PUSTAKA

Arief, dkk (2000), Kapita Selekta Kedokteran ed. 3, jilid 2, Medika Aesculapius, Jakarta.
Hudak & Gallo (1996), Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, EGC, Jakarta.
Marylin. D (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, EGC Jakarta.

 

Blogger news

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Blogroll

Widget edited by super-bee

About